Pendahuluan
Membaca dan menulis merupakan dua kegiatan yang tak
terpisahkan. Ayat Al Quran yang turun ke bumi diawali dengan iqra’ (bacalah). Beberapa bulan kemudian
turun ayat Nun, wal qalami wama yasthurunNun,
w (Nun, demi qalam dan apa yang mereka tulis).
Iqra’ bukan sekedar
melek huruf, tetapi proses penyerapan dan penggalian ilmu pengetahuan melalui proses merekam, merenung, berpikir,
melakukan penelitian, dan lainnya pada fenomena alam dan kemasyarakatan. Hasil kegiatan
ini lalu dirumuskan dan disempurnakan. Setelah itu seharusnya direkam, ditulis,
dan disosialisasikan/kembangkan kepada masyarakat. Disnilah proses nun wal qalami wama yasthurun.
Telah banyak penelitian dan pendapat tentang rendahnya
minat baca dan minat tulis di negeri ini. Tidak diketahui berapa milyar rupiah
yang telah dihabiskan untuk sekedar “ngrumpi” tentang minat baca. Sementara itu
minat baca belum beranjak menjadi gemar membaca, apalagi menjadi kultur membaca.
Justru yang meningkat minat baca televisi , smartphone, dan pengguna internet.
Badan Pusat
Statistik/BPs (2012) menyatakan bahwa sebanyak 91,68 % penduduk berusia 10
tahun ke atas lebih menyukai menonton televisi. Hanya sekitar 17,66 % dari
mereka yang membaca dari beberapa sumber bacaan.
Sementara itu, pengguna internet menaik tajam dari tahun ke tahun. Di negeri
ini pengguna internet pada tahun 2001 tercatat 1,9 juta orang (JITU dalam Lasa
Hs, 2016). Kemudian minat penggunaan internet ini menjadi 88,1 juta pada tahun
2014 (APJII, 2015 dalam Lasa Hs, 2017).
Kesadaran menulis di kalangan intelektual masih rendah
apalagi dalam masyarakat umum. Penulisan di kalangan akademisi sebatas
keterpaksaan (peraturan akademik, proyek, kenaikan jabatan, lomba, call paper).
Ilmu dan hasil penelitian mereka disosialisasikan secara lisan (ceramah, mengajar narasumber seminar, dialog,
diskusi). Bahkan karya akademik yang mungkin bernilai suma cumlaude itu
disembunyikan di lemari besi. Juga sebagian besar hasil-hasil penelitian itu
tidak sempat diketahui masyarakat dan hanya sebagai dokumen pertanggungjawaban
keuangan.
Untuk itu perlu dorongan-dorongan untuk open access terhadap sumber-sumber ilmiah itu agar
masyarakat tercerahkan oleh pemikiran para intelektual itu.
Membaca dan menulis
Membaca dan
menulis merupakan dua elemen yang saling mendukung dan tak bisa dipisahkan.
Menulis tanpa membaca ibarat orang buta berjalan. Artinya dalam proses
penulisan diperlukan ide, pemikiran, pengalaman, dan hasil penelitian yang
diperoleh melalui proses baca (merekam, mengamati, melihat). Menulis tanpa
diawali dengan membaca (dalam arti luas) kiranya akan kehabisan materi
penulisan dan akan mengalami kebingungan bahkan kemandekan. Sebaliknya membaca
tanpa menulis ibarat orang pincang yang berjalan. Artinya apalah gunanya ide,
teori, pengalaman yang dimiliki seseorang itu apabila tidak disampaikan melalui
lisan atau tulisan kepada orang lain. Dengan
demikian,apa yang ada di benak seseorang itu tak banyak memberikan memberikan makna dalam kehidupan.
Membaca
merupakan proses penyerapan informasi dan akan berpengaruh positif terhadap
kreativitas seseorang. Membaca pada hakekatnya adalah menebarkan gagasan dan
upaya yang kreatif. Siklus membaca sebenarnya
merupakan siklus mengalirnya ide pengarang/penulis dalam diri pembaca yang pada
giliranya akan mengalir ke seluruh penjuru dunia melalui buku aau rekaman
lainnya. Dalam hal ini Arthur Shopenhauer (1851) seorang penulis Jerman
menyatakan bahwa membaca setara dengan berpikir dengan menggunakan pikiran
orang lain, bukan pikiran sendiri (Hernowo, 2003: 35).
Kalau
membaca itu merupakan proses perekaman gagasan, ide, dan pemikiran orang lain,
maka menulis merupakan proses penuangan gagasan dan ide tersebut dalam bentuk
tulisan. Dengan demikian persoalan penulisan menjadi
penting, karena merupakan masalah pendokumentasian ide dan pengembangan ilmu.
Namun
demikian, pembaca yang baik belum tentu berbanding lurus dengan menjadi penulis
yang baik. Sebaliknya penulis yang baik pasti sebagai pembaca yang baik.
Penulis
terutama penulis buku hanya bicara sekali tetapi kesannya akan melekat terus
dalam hati pembaca dan menjadi buah bibir sepanjang masa. Buku yang berisi
pikiran-pikiran penulis itu akan mampu membentuk pendapat umum (public opinion).Yakni pandangan orang
banyak yang tidak terorganisir dan menyebar kemana-mana. Mereka memiliki
kesamaan pandangan tentang sesuatu dan dalam
keadaan tertentu bisa menjadi revolusi.
Membaca dan Manfaatnya
Membaca memiliki manfaat dan banyak makna. Dengan banyak membaca bacaan
yang berkualitas dan selektif akan memeroleh pengalaman dan pelajaran dari
orang lain. Bahkan dengan membaca buku, seseorang dapat terhindar dari
kerusakan jaringan otak di masa tua.
Maka orang yang suka membaca (belajar, berpikir positif) insya Allah tidak
mengalami kepikunan. Suatu penelitian pernah menyatakan bahwa membaca buku
dapat membantu seseorang untuk menumbuhkan syaraf baru (Hernowo, 2003: 33). Beberapa
manfaat membaca:
1.
Merangsang sel-sel otak
Membaca merupakan
proses berpikir positif karena menyerap ide dan pengalaman orang lain. Kegiatan
ini akan merangsang sel-sel otak. Otak sebagai pengatur kegiatan manusia
memiliki struktur dan sifat yang unik, misteri, dan penuh keajaiban. Otak
memegang peran penting dalam kehidupan intelektual manusia karena seluruh
syaraf diatur oleh otak ini. Maka otak perlu dijaga vitalitasnya, dijaga
kesegarannya, dan perlu dicegah proses penuaannya. Penuaan dan penyusutan orang,
insya Allah dapat dikurangi dan dapat dicegah sejak dini.
Aktif menulis
pasti aktif membaca. Tetapi aktif membaca belum tentu aktif menulis. Jadi
seorang penulis itu orang yang aktif menggunakan otaknya untuk membaca dan
menulis untuk meng up date ilmu pengetahuannya agar tulisannya tidak out of date . Maka seorang Achdiat
Kartamiharja penulis novel itu masih me-launching
bukunya di usia 95 tahun pada tahun 2006 (Leo, 2017)
Secaraa
psikologis, agar otak terjaga vialitasnya, hendaknya digunakan untuk berpikir
positif, rasional, obyektif, khusnudhan, dan rileks. Sebab
pikiran-pikiran yang negatif, emosional dapat menimbulkan distress dan merusak
kesehatan. Mereka yang mampu mengoptimalkan kerja intelektual otak dengan
menghasilkan pemikiran yang positif (misalnya menulis buku, artikel,
pengalaman, kebijakan) , inovatif, dan
membawa kemaslahatan manusia adalah orang yang mampu memperpanjang usia otak
secara fisik dan psikologis
2.
Menumbuhkan kreativitas
Dengan membaca, kita
memeroleh pandangan, ide, dan pengalaman orang lain. Hasil bacaan ini kemudian
kita renungkan, pikirkan, dan praktekkan serta dikembangkan kepada orang lain.
Cara baca inilah sebenarnya merupakan cara baca yang berkualitas. Sebab dalam
proses baca ini terjadi proses seleksi, pengolahan, dan usaha kreatif untuk
dikembangkan. Maka dapat dikatakan bahwa orang yang kreativitasnya menonjol,
rata-rata memilki kemampan baca yang tinggi., Hanya orang-orang yang kreatif
dan beranilah yang mampu membawa perubahan.
3.
Meningkatkan perbendaharaan kata
Banyaknya
kata-kata yang diserap seseorang akan memengaruhi kelancaran komunikasi lisan
dan tulis. Maka membaca merupakan penyerapan kosakata, pengetahuan, tatabahasa,
dan pengenalan ungkapan. Kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan perbendaharaan kata
4.
Membantu mengekspreskan pemikiran
Banyak orang yang
lancar bicara dalam ceramah, pidato, sebagai narasumber dalam mengekpresikan
pemikirannya, Tetapi sedikit orang yang mampu menulis dengan baik. Hal ini
mungkin disebabkan kurang terbiasa mengekspresikan pemikiran melalui tulisan.
Ekspresi melalui
tulisan memang berbeda dengan ekspresi melalui lisan. Kegiatan menulis
memerlukan penguasaan materi, pemilihan kata, perenungan masalah, dan
penyusunan kalimat. Semua kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat, teliti,
dan penuh pertimbangan, Maka kualitas dan kuantitas bacaan akan mememgaruhi
kualitas tulisan., Kata Peter Bolsius “If you do not read, you do not write
(Nurudin, 2004: 81)
Menulis dan Manfaatnya
Masalah
penulisan tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan intelektual dan kemasyrakatan.
Sebab dalam pelaksanakan kegiatan itu diperlukan ide, pemikiran, dan pengalaman
yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Melalui
tulisan-tulisan itulah, suatu ide dan pemikiran dapat dipahami orang banyak,
diikti dan dikembangkan .
Dari
sisi lain, menulis sebenarnya merupaka kegiatan keilmuan dan pendidikan. Betapa
besar peran penulis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan kemajuan
seseorang, Seorang ilmuwan yang tidak menulis ibarat burung bersayap satu.
Burung itu hanya mampu hinggap dari ranting satu ke ranting lain, atau dari
satu pohon ke pohon berikutnya. Ilmuwan yang menulis (buku, penelitian,
artikel) ibarat burung bersayap dua. Artinya ide dan pemikirannya menyebar ke
seluruh penjuru dunia.
Faktor
kepenulisan inilah yang membedakan ilmuwan satu dengan lainnya. Maka ada yang
mengatakan all scientist are same until
one of them writes books. Mereka yang memiliki kesadaran, kemauan, dan
kemampuan menulis inilah yang akan memeroleh manfaat materi dan nonmateri
Mitos penulisan
Rendahnya kesadaran penulisan diakui oleh bayak pihak. Jangankan di
kalangan masyarakat, bahkan di kalangan akademikpun juga rendah. Dalam hal ini
antara lain dikemukakan oleh Ahmad Fauzi (2017:1) selaku anggota Evaluasi Guru
Besar menyatakan bahwa pada tahun 2015 jumlah publikasi ilmiah inernasional
Indonesia yang mempunyai dampak dari Scimago Journal Rank /SJR haanya 6.280,
sementara Malaysia sudah 23.414, Singapura 17.976, dan Thailand 11.632. Padahal
pada tahun 2016 tercatat 5.273 orang bergelar profesor. Andaikata mereka itu
setiap tahun menulis buku 1(satu) judul saja, maka setiap tahun akan terbit
5.273 judul buku. Tetapi kenyataannya tidak seperti yang diharapkan.
Penulisan
di kalangan akademik nampaknya belum menjadi kesadaran menulis, tetapi terpaksa
menulis. Mereka menulis dipaksa oleh kebutuhan angka kredi, royalti, dan
popularitas yang bersifat materialis dan bukan idealis. Dalam hal ini Sudarsono (2010: 138)
melakukan penelitian produktivitas dosen perguruan tinggi negeri terkenal di
Yogyakarta dengan 208 respnden. Hsilmya adalah sebanyak 69 orang dosen (33,17
%) menulis buku untuk mencari angka kredit, 28 orang (13,46 %) untuk
mendapatkan royalti. Kemudian 22 orang (10,58%) untuk mencari popularitas.
Sedangkan 89 orang (43,84 %) menyatakan lainnya.
Data
lain menyebutkan bahwa rendahnya kesadaran penulisan juga terjadi pada guru
sebagai tenaga pendidik. Sekedar contoh bahwa di Indonesia terdapat 1,4 guru
yang berstatus PNS pada tahun2009 . Umumnya guru-guru tersebut menduduki
golongan pangkat III/a – III/d yang jumlahnya 996.926 orang. Mereka yang
menduduki golongan panagkat IV/a sebanyak 334.189 orang, golongan IV/b sebanyak
2.314 guru, dan golongan IV/c hanya 84 orang guru, dan hanya 15 orang guru
menduduki golongan pangkat IV/d (Kedaulatan Rakyat, 27 Maret 2009). Menumpuknya
guru di golongan II atau golongan IV/a ini kemungkinan kurng mampu menulis
karya ilmiah. Sebab untuk naik ke golongan IV/b harus menuis karya ilmiah.
Di
kalangan pustakawanpun, kesadaran menulis masih rendah. Dalam hal ini Sutarji
dan Sri Ismi Maulidyah melakukan penelitian terhadap artikel yang ditulis dalam
Jurnal Perpustakaan Pertanian tahun 2001 – 2010 (sepuluh tahun), ternyata hanya
0,04 artikel/pustakawan/tahun.
Menulis dan Manfaatnya
Kepenulisan
merupakan dunia idealis, ilmu pengetahuan, budaya, informasi, dan nilai. Dari
kepenulisan sering muncul ide cemerlang yang terekam, menyebar, dan berkembang.
Perkembangan ilmu pengetahuan lebih cepat karena didukung kepenulisan. Nilai
dan budaya bangsa akan turun temurun karena adanya tradisi penulisan.
Menulis
memiliki banyak makna dan manfaat. Ide sederhana apabila ditulis kadang menjadi berkembang hebat kalau ditulis.
Seperti karya Man and the Sea yang
pernah mendapat hadiah nobel itu hanya cerita tentang nelayan. Sebaliknya ide
yang cemerlang tidak akan jadi apa-apa apabila tidak diekspresikan antara lain
melalui tulisan.
Seorang
penulis dapat memeroleh popularitas dan namanya menasional bahkan mendunia.
Buah pikiran mereka dapat menembus belahan dunia lain, mampu memengaruhi sikap,
tindakan, dan perilaku orang lain. Maka dapat diaakan bahwa pikiran penulis itu
tetap hidup dan berkembang terus seolah-olah mereka masih hidup diantara kita.
Mereka itu hidup (pikiran dan ide) dalam kematian (jasad). Maka kata Pramudya
Ananta Toer “orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama tidak menulis,
ia akan hilang” (Leo, 2017: 8)
Para
penulis profesional (ikhlas) mengaku mendapatkan manfaat darikegatan menulis
antara lain:
1.
Mendapatkan kemuliaan.
Penulis
profesional adalah seorang yang ikhlas memberi dan tidak mebgahrapkan balasan
materi (royalti, angka kredit, jabatan, popularitas, hadiah). Mereka memberi
ilmu pada banyak orang (dikenal atau tidak dikenal). Bukankan tangan diatas
(pemberi) lebih baik/mulia dari tangan dibawah (yadu al ‘ulya khairun min al yadi as sufla)
Dalam hal ini, Imam Ghazali
menyatakan : If you neiher a prince nor a chlid of famous religious leader, do
write (apabila kalian bukan anak raja dan bukan anak ulama, maka menulislah).
Disini ada pesan bahwa penulis itu akan mendapatkan kemuliaan sama dengan
mulianya anak raja atau anak ulama/kiyai. Begitu mulianya kedudukan penulis
sebagai perekam dan pengembang ilmu pengetahuan. Maka Khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib pernah mengingatkan qaid al ‘ilma
bil kitabah (ikatlah ilmu dengan tulisan).
Dari
sisi lain, ilmu yang ditulis akan dimanfaatkan banyak orang. Maka penulis
memberkan manfaat kepada sebanyak-banyak orang. Bukankah Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa khairunnasi anfa’uhum linnas.
2.
Memeroleh keberanian
Kebanyakan orang
takut menulis, karena khawatir jangan-jangan tulisannya dicemooh, kurang
bermutu, tidak dibayar royalti, dibajak dan lainnya. Menulis saja belum kok
takut dibajak, maka sampai mati tak akan pernah menulis. Ketakutan menulis
harus dilawan dengan keberanian menulis. Pasra penulis terkenal memang pada
awalnya mengalami kekhawatiran.Namun berkat keberanian dan nekat mencoba,
berlatih, maka ketakutan itu berubah menjadi kesenangan dan kepuasan
3.
Menyehatkan kulit wajah
Fatimah Mernisi,
wanita penulis Islam dari Maroko itu pernah menulis dalam salah satu bukunya
:”Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit anda akan menjadi segar kembali
akibat kandungannya luar biasa. Dari saat anda bangun, menulislah. Sebab menulis itu akan meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan
pertama di atas kertas kosong, kantuk di mata anda akan hilang dan kulit wajah
anda akan terasa segar kembali”.
Pernyataan ini dikuatkan suatu penelitian yang hasilnya
ditulis dalam buku Opening
Up; The Healing Power of Expressing Emotions. Dalam buku ini diuraikan
bahwa mengungkapkan pengalaman pahit dalam bentuk tulisan akan memengaruhi
pemikiran, perasaan dan kesehaan tubuh seseorang (Hernowo, 2003).
4.
Mengatasai trauma
Dalam sejarah hidup seseorang kadang mengalami kehidupan
yang tidak menyenangkan. Kondisi ini bisa ditulis dan kadang menjadi buku best seller.. Adalah Azka Gorbuizer (10 tahun)
menulis nasib dirinya, A Gol A Gong yang
kehilangan tangan kanannya menjadi penulis novel yang produktif dan terkenal. Bahkan seorang pengemis Prancis
pernah menulis buku yang best seller di negaranya.
Begitu juga dengan Dave Pelzer menceritakan
kisah hidupnya semasa kecil dalam bukunya berjudul A Child Called it. Dalam buku ini,
beliau menceritakan pedihnya disiksa ibu kandungnya sendiri yang merupakan
pengalaman yang tak bisa dilupakan. Ternyata buku ini menjadi best seller pada jamannya. Karl Mark
yang menulis buku Das Capital ketika
ia hidup miskin, menderita, dan golongan buruh diekploitir kaum borjuis. Tan Malaka menulis buku Madilog
ketika dihimpit kemiskinan dan sakit parah. Bahkan Buya Hamka merampungkan Tafsir Al Azhar 30 juz itu, justru ketika dipenjara oleh rezim orde lama.
Dunia kepenulisan
dan dunia perbukuan identik dengan perkembangan ilmu pengetahuan bangsa. Bangsa
yang maju adalah bangsa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau dunia perbukuan bagus, maka masyarakatnya akan berkualitas. Tanpa buku,
sejarah akan diam, sastra terbungkam, sains akan lumpuh, dan pemikiran macet
(Taufik Ismail, 2005)
Datftar Bacaan
-
Lasa Hs. 2005. Menulis Itu Segampang Ngomong. Yogyakarta: Pinus
-
---------. 2006. Menaklukkan Reaktur. Yogyakarta: Pinus
-
---------. 2017. Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta: Calipus
-
---------. 2017. Menulis Artikel dan Luteratur Sekunder (naskah). Jakarta:
Universitas Terbuka
-
-----------. 2017. Manajemen dan
Standardisasi Perpustakaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah/PTMA. Yogyakarta:
MPI PP Muhammadiyah
-
-----------; Roby Kurniadi. 2015. Manajemen
dan Standardisasi Perpustakaan Sekolah/Madrasah Muhammadiyah. Yogyakarta:
Mengari Publisher (MPI PDM Kota Yogyakarta).
-
Leo, Sutanto. 2017. Mencerahkan Bakat Menulis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
-
Siregar, A.Ridwan., 2004. Perpustakaan
Energi Pembangunan Bangsa. Medan: USU Press
-
Susan, Bunda. 2017. Biblioterapi Untuk Pengasuhan. Bandung:
Noura Publishing.
Biodata
Lasa Hs, lahir 1 Januari 1947 di
Nogosari Boyolali. Pendidikan terakhir S2 Manajemen Perpustakaan UGM.
Pengalaman; pustakawan utama (IV/e), guru, dosen, asesor BAN PT, kepala
perpustakaan PT, penulis, mitra bestari/reviewer jurnal UGM dan UII, juri
berbagai lomba kepustakawanan, tim penyiapan akreditasi perpustakaan DIY,
redaksi jurnal. Karya tulis berupa buku, baru 53 judul (mandiri atau
kolaborasi, diterbitkan 15 penerbit), ratusan artikel dan makalah. Tulisannya
disitasi oleg Google scholar 1.400 kali, dan webometrik repositiry 807 kali. B
* Makalah Workshop Kopi Darat Nasional Pegiat Literasi Muhammadiyah tanggal 8 – 10 Desember 2017 di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Lasa Hs
Ketua FPPTMA
0 Komentar