Kiranya tidaklah berlebihan kalau
dikatakan bahwa di Indonesia masih sedikit orang yang mengenal bahwa bekerja di
perpustakaan memerlukan pendidikan formal. Belum banyak orang mengerti bahwa pustakawan adalah suatu
profesi yang tidak kalah dengan profesi lain. Pertanyaan
klasik tentang profesi pustakawan dan ruang lingkup tugas serta tanggung
jawabnya masih selalu saja muncul. Sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti:
apakah ilmu perpustakaan itu?; apa beda antara perpustakaan, pusat dokumentasi,
pusat informasi, pusat analisis informasi dan Clearinghouse?; apakah tugas pustakawan benar tugas seorang
professional?; dan masih banyak pertanyaan lain yang berhubungan atau berkaitan
dengan ruang lingkup perpustakaan dan pustakawan (Sudarsono, 1992:149).
Kadangkala karena profesi pustakawan
dianggap kurang bergengsi, atau kurang dikenal, mereka yang melakukan pekerjaan
yang sama dengan pustakawan menyebut dirinya “ahli dokumentasi”atau “ahli
informasi” dan lembaganya disebut sebagai “ pusat dokumentasi dan informasi”
ataukah ini suatu kritikan terhadap pustakawan yang masih bersifat pasif, tidak
pernah berusaha untuk mengikuti perkembangan zaman (Zen, 1992:21).
Pustakawan masa kini harus aktif,
menyesuaikan diri ditempat mana mereka bekerja dan harus mempelajari tingkah
polah pencari informasi (user).
Dengan kata lain, para pustakawan diharuskan berorientasi pada pemakainya (user-oriented), tidak hanya sibuk dengan
dunianya sendiri. Pustakawan semestinya sadar bahwa bekerja di perpustakaan
merupakan pekerjaan jasa untuk melayani informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat disekitarnya, pustakawan selalu berinteraksi dengan masyarakat (User), dapat disimpulkan bahwa
pustakawan merupakan makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial dan sebagai sosok
professional, pustakawan diharapkan mampu mempertanggungjawabkan hak-hak dan
kewajiban yang melekat pada diri seorang pustakawan. Pertanyaan-pertanyaan
klasik dari masyarakat tentang profesionalisme pustakawan dapat dijadikan
sebagai evaluasi apakah memang benar pustakawan sudah melaksanakan tugasnya
secara professional? Atau malah pustakawan sendiri tidak memahami bahwa
pustakawan merupakan pekerjaan professional?
Selain permasalahan keprofesionalan
pustakawan, tentu saja masyarakat juga akan mempertanyakan peranannya dalam
kehidupan sosial sebagai dampak dari perkerjaan professional masyarakat (user)
mengharapkan pustakawan memiliki kontribusi dan berperan aktiv dalam
menghimpun, mengelola, dan menyebarluaskan informasi sebagai wujud dari
keprofesionalan tersebut. Terlebih pada abad elektronik saat ini, masihkah
pustakawan dibutuhkan ketika semua sudah tergantikan oleh perangkat-perangkat
canggih yang menawarkan kecepatan dan kemudahan.
Harus
diakui bahwa pemaparan yang akan disampaikan penulis dalam belum tersusun
secara sistematis karena baru merupakan perkenalan tentang profesionalisme
pustakawan dan peranan nya sebagai makhluk sosial yang perlu dikaji dan sangat
diharapkan untuk dievaluasi demi perbaikan konten dalam tulisan ini.
Apakah
benar tugas pustakawan adalah tugas seorang profesional?
Pustakawan adalah praktisi yang dalam
bekerja sehari-hari menghadapi gencarnya serbuan electronic devices, di samping aneka ragam tuntutan para pengguna
jasa perpustakaan agar layanan informasi menjadi mudah dan cepat (Sudarsono,
2006: 147). Berbagai macam definisi
tentang pustakawan mulai muncul dengan berbagai sudut pandang dalam
mendefinisikan pustakawan. Hermawan (2006:45) melakukan
pendekatan secara etimologi mendefinisikan bahwa kata pustakawan berasal dari
kata “pustaka”, dengan demikian penambahan kata “wan” diartikan sebagai orang
yang pekerjaanya atau profesinya terkait erat dengan dunia pustaka atau bahan
pustaka, dalam perkembangan selanjutnya, istilah pustakawan diperkaya lagi
dengan istilah-istilah lain, meskipun hakikat pekerjaanya sama, yaitu sama-sama
mengelola informasi, diantaranya pakar informasi, pakar dokumentasi, pialang
informasi,manajer pengetahuan, dan sebagainya. Sedangkan Qalyubi, dkk (2007: 4)
mendefinisikan pustakawan yaitu orang yang bekerja diperpustakaan atau lembaga
sejenisnya dan memiliki pendidikan perpustakaan secara formal (di Indonesia
criteria pendidikan minimal D-2 secara formal dalam bidang ilmu perpustakaan,
dokumentasi dan informasi.
Sulistyo-Basuki (1991:159) menyebutkan
bahwa pustakawan adalah tenaga professional yang dalam kehidupan sehari-hari
berkecimpung dengan dunia buku, di segi lain, pustakawanpun dituntut untuk giat
membaca demi kepentingan profesi, ilmu, maupun pengembangan kepribadian si
pustakawan itu sendiri. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) sebagai organisasi
yang menghimpun para pustakawan dalam kode etiknya juga menyatakan bahwa
“pustakawan” adalah seorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan
jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga
induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi yang
dimilikinya melalui pendidikan. Kalau menyimak perkembagan profesi, timbul tanda
Tanya apakah pustakawan dapat digolongkan kedalam profesi atau tidak.Hal ini
tergantung pada kemampuan dan tanggapan pustakawan terhadap profesi dan jasa
yang diberikan pustakawan serta andangan masyarakat itu sendiri terhadap
pustakawan. Adapun ciri profesi menurut Sulistyo-Basuki (1991: 159) adalah
sebagai berikut:
1.
Adanya sebuah
Asosiasi atau Organisasi Keahlian
Tenaga professional berkumpul dalam
sebuah organisasi yang teratur dan benar-benar mewakili kepentingan profesi.
Dalam dunia pustakawan dikenal organisasi bernama Library Association
(Inggris), American Library Association (AS), serta Ikatan Pustakawan
Indonesia(disingkat IPI).
2.
Terdapat Pola
Pendidikan Profesi yang Jelas
Profesi didasarkan atas batang tubuh
teori atau teknik yang dapat diajarkan. Hal ini berarti bahwa subjek tersebut
dapat diperlukan sebagai sebuah disiplin akademis serta pekerjaan professional
harus memiliki sifat intelektual, pada umumnya dalam bidang pendidikan,
terdapat perbedaan pendidikan antara subjek yang bersifat akademis dengan
subjek yang bersifat professional. Yang disebut terakhir ini merupakan masalah
pelik karena perlu dikaitkan antara teori dan praktek, karena masih banyak
teori yang belum dikembangkan.
3.
Adanya Kode Etik
Dalam tugas pustakawan, kode etik ini diperlukan
karena banyak yang belum dibahas dalam peraturan namun dijumpai dalam tugas
sehari-hari. Tujuan kode etik adalah untuk memastikan professional akan
membeikan layanan atau hasil kerja dengan kualitas tertinggi dan paling baik
untuk kliennya, jadi untuk melindungi para pemakai jasa dari perbuatan atau
tindakan yang tidak professional (Purwono, 2013: 57).
4.
Berorientasi
Pada Jasa
Kepustakawanan berorientasi pada jasa,
dengan pengertian jasa perpustakaan dengan pembaca memerlukan pengetahuan dan
teknik khusus yang dimiliki pustakawan. Pustakawan tidak memungut imbalan dari
pembaca dan pustakawan dapat dihubungi setiap kali berada diperpustakaan dengan
tidak memandang keadaan pembaca.
5.
Adanya Tingkat
Kemandirian
Sebagai tenaga professional maka tenaga profesioanl
harus mandiri, dalam arti bebas dari campur tangan pihak luar. Pada kenyataanya
kemandirian professional sulit diterapkan, sifat kemandirian pustakawan
bersifat ganda artinya di satu pihak dia dapat mandiri namun di pihak lain ia
terikat pada pemerintah sehingga sering disebut adanya kesetiaan ganda.
Jika mengacu pada ciri-ciri profesi di atas, dapat dipastikan bahwa
pustakawan itu merupakan sebuah profesi. Meskipun tidak semua poin dimiliki
oleh pustakawan maupun asosiasi kepustakawanan. Misalnya permasalahan kode
etik, selama ini apakah sudah ditaati oleh tiap-tiap diri pustakawan? Apakah tiap-tiap
pustakawan tahu ada kode etik profesinya? Ataukah sampai saat ini pustakawan
masih sebuah profesi administratif (saja)?. Mungkin ini hanya sebuah
“uneg-uneg” saya saja sebagai seorang yang belum tahu banyak tentang dunia
kepustakawanan. Mungkin juga para senior juga sudah membuat rancangan besar
membenahi yang salah, melengkapi yang kurang, dan menambah dengan yang baik
untuk profesi pustakawan yang sangat
membanggakan ini.
Dilema dalam Ketidakmapanan
Akhir-akhir ini
sedang ramai perbincangan tentang nomenklatur baru yang ditetapkan untuk
jurusan bidang perpustakaan. Selama ini banyak yang memahami perpustakaan itu
sebagai sebuah ilmu hingga dalam penjurusan kuliah diberikan nama “ilmu
perpustakaan”. Selain itu juga dimungkinkan pengaruh dari penterjemahan library and information science yang
kemudian diartikan sebagai ilmu perpustakaan dan informasi bukan perpustakaan
dan ilmu informasi. Sehingga ketika kata “ilmu” pada “ilmu perpustakaan”
dihilangkan seperti menjadi sebuah bencana yang membahayakan kelangsungan hidup
perpustakaan. Padahal mungkin saja sudah dari awalnya memang perpustakaan itu
bukan ilmu.
Namun, jika
perpustakaan itu pada perjalanannya sampai saat ini dirasakan pantas menyandang
sebuah “ilmu” maka yang dibutuhkan
adalah sebuah landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Seandainya
pondasi yang dibangun untuk mengokohkan bahwa perpustakaan itu pantas
dinyatakan sebagai “ilmu” mungkin nomenklatur untuk lulusan pendidikan perpustakaan
tidak sesering ini dirubah. Atau mungkin saja ilmu perpustakaan akan percaya
diri tanpa selalu di dampingi embel-embel “informasi”. Atau bisa jadi semua
penyelenggara pendidikan perpustakaan akan menyeragamkan gelar untuk
lulusannya. Semua memang masih menjadi sebuah “kemungkinan” karena
kemungkinan-kemungkinan itu masih belum terealisasi sampai saat ini. Rujukan
rujukan yang digunakan oleh Penulis dalam tulisan ini yang masih menggunakan
tahun tahun lawas agaknya memang masih relevan untuk sekedar merenung bahwa
fenomena 25tahun yang lalu hingga saat ini belum mengalami perubahan yang
signifikan dalam hal administrasi dan Pendidikan kepustakawanan di Indonesia.
Perpustakaan
memang sebuah oraganisasi yang terus berkembang. Perubahan-perubahan memang
akan selalu menyertai keberadaanya menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapai. Sebuah
ke-optimisan tentu masih ada karena lulusan perpustakaan atau ilmu perpustakaan
dari generasi millenial sudah banyak melakukan pembaruan mekipun belum secara
keseluruhan. Geliat
dan semangat Perubahan dari kaum muda dengan kreasi dan inovasi menjadi penyemangat
mempertahankan eksistensi Perpustakaan. Inovasi dalam bidang teknologi,
kegiatan, promosi, dan lain sebagainya sedikit banyak telah mengubah paradigma
tentang perpustakaan.
Referensi
Hermawan
S, Rachman dan Zen , Zulfikar. (2006). Etika Kepustakawanan: Suatu
Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Purwono.
2013. Profesi Pustakawan Menghadapi Tantangan Perubahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Qalyubi,
Shihabbudin, dkk. 2OO7.Dasar Dasar Ilmu
Perpustakaan Dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas
Adab dan Ilmu Budaya.
Sudarsono. 1992. “Pendekatan untuk Memahami Kepustakawanan” dalam buku Kepustakawan Indonesia: Potensi
dan Tantangan. Jakarta:
Kesaint Blanc.
Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar IlmuPerpustakaan. Jakarta:
Gramedia.
Zen,
Zulfikar, dkk.1992. “Kilas Balik 4o Tahun Pendidikan
Perpustakaan Di Indonesia 1952 1992” dalam buku Kepustakawan Indonesia: Potensi
dan Tantangan. .
Jakarta: Kesaint Blanc.
Atin Istiarni
UM Magelang
0 Komentar