Firman Allah Swt yang artinya: Sesungguhnya kematian yang kamu lari
darinya (takut mati) itu pasti akan menemui kamu sekalian, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada Allah yang Mengetahui yang salah dan yang nyata, lalu Dia
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (Q.S. Al Jumu’ah: 8)
Kematian tak segan-segan
menghampiri siapapun dan dimanapun. Nenek tua sedang makan pagi meninggal
karena kejatuhan pintu rumah yang roboh akibat gempa. Seorang abang becak
beranak banyak mendadak meninggal karena tertindih bangunan yang roboh. Seorang
mahasiswa yang pagi itu harus ujian, ternyata meninggal di tempat tidurnya
karena gempa yang dahsyat di pagi hari misalnya.
Kematian bisa saja
menimpa pekerja tambang karena rerunthan tanah. Seorang jama’ah maghrib
padasujud terakhir lama tidak bangun, ternyata setelah diamati dia telah
meninggal. Bisa saja seseorang meninggal di kursi ruang sidang ketika mengkuti
sidan atau pertemuan ilmiah. Kematian dengan cara yang bermacam-macam itu merupakan bukti kekuasaan Allah yang dalam
waktu singkat Allah memanggil hamaNya yang dikehendaki.
Berangkat dari kematian
yang tidak mesti didahului oleh sakit itu patut menjadi renungan bahwa kita perlu segera menunaikan amanah.
Amanah berarti kepercayaan. Bila orang diberi amanah berarti diberi
kepercayaan. Kata amanah ini serumpun dengan kata iman. Maka amanah ini lahir dari
kekuatan iman. Bila iman kuat, maka semakin kuat dalam memegang amanah. Tetapi
apabila tidak bisa dipercaya berarti imannya lemah. Jadi antara iman dan amanah
ibarat dua keping mata uang. Dalam hal ini Rasulullah Saw menegaskan dalam
sabdanya:” Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak
(sempurna) agama orang yang tidak menunaikan/menepati janji” (H.R.Ahmad).
Sebagaimana pengertian
istilah lain, maka amanah dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Secara
sempit amanah berarti memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya
seperti semula. Kemudian amanah dalam arti luas mencakup banyak makna, yakni
menjaga diri, menyimpan rahasia, menjaga titipan, menjaga pemberian Allah Swt,
menunaikan tugas dari Allah, dan tidak menyalahgunakan kekudukan/jabatan
Menjaga
Diri
Diri orang merupakan
sesuatu yang berharga. Maka ada pesan jangan sampai menjual harga diri.
Penafsiran harga diri kadang-kadang berlebihan. Mungkin hanya soal sepele saja
justru menjadi tawuran dengan alasan membela harga diri.
Menjaga diri adalah upaya agar diri kita tetap dihormati, memiliki
kewibawaan, diakui eksistensi kita, tetap dihormati, dan dapat dicontoh orang
lain. Orang semacam ini mampu menempatkan dan menyesuaikan diri dalam pergaulan
masyarakat umum maupun masyarakat karirnya.
Masing-masing individu,
rumah tangga, lembaga, bahkan negara memiliki rahasia sendiri-sendiri. Rahasia
ini mungkin merupakan aib tetapi bisa juga rahasia itu justru merupakan
kekuatan atau kekayaan yang disembunyikan. Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga
antara suami istri ada hal-hal yang harus menjadi rahasia. Sampai masalah
ranjang pun tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
Seorang suami yang
membeberkan aib istrinya, justru itu merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Demikian pula, apabila isteri melakukan konferensi pers tentang penyelewengan
suami misalnya. Tindakan ini sebenarnya justru merusak citra rumah tangga
sendiri. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda yang artinya:” Sesungguhnya
amanah yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat ialah apabila seorang
suami berkumpul dengan isterinya kemudian hal ini disebarluaskan kepada orang
lain tentang rahasia isterinya” (H.R. Muslim).
Menjaga
Titipan
Apabila dititipi barang,
anak, harta, pesan, bahkan salam orang lain, maka titipan itu harus dijaga
sebaik-baiknya. Apabila sewaktu-waktu titipan itu diambil oleh yang
menitipkannya, maka titipan itu harus ikhlas untuk mengembalikannya.
Kecuali itu, apabila
kita renungkan penuh kesadaran bahwa harta, anak, ilmu, bahkan nyawa itu
merupakan titipan. Titipan ini sewaktu-waktu akan diminta kembali oleh Dzat
yang Menitipkannya. Kita pun harus ikhlas untuk melepaskannya meskipun berat di
hati.
Dalam suatu kisah
diceritakan bahwa pada masa Rasulullah Saw ada suami isteri yang saling asah,
asih, dan asuh. Suami itu bernama Abu Thalhah dan isterinya bernama Ummu Salim.
Pada suatu hari Abu Thalhah baru pulang dari berniaga/dagang. Ketika sampai di
rumah beberapa saat sebelum kedatangannya, anaknya meninggal dunia. Ummu Salim
tidak segera memberitahukan kejadian itu kepada suaminya. Sebab sang suami
masih capai dan pikirannya belum tenang. Setelah dihidangkan minuman dan
makanan ala kadarnya, lalu istirahat sejenak. Kemudian Abu Thalhah menanyakan
keadaan putranya yang ketika ia pergi kebetulan anaknya itu sedang sakit. Maka
Ummu Salim mengatakan :”Wahai suamiku anak kita lebih tenang dari sebelumnya.
Dikatakan selanjutnya : “Wahai suamiku apabila apabila seseorang meminjamkan
barang kepada seseorang dalam jangka waktu tertentu, lalu setelah habis masa itu
lalu itipan itu diambil oleh pemlinya melalui seorang utusan. Di satu sisi,
peminjam itu masih enggan mengembalikannya. Berat rasanyaapabila barang titipan
itu diambil oleh pemiliknya. Nahapakah peminjam itu berhak untuk mencegahnya
(tidak boleh diambil). Mendengar ini, Abu Thalhah pun menjawab “Tentu saja
tidak”. Lalu Ummu Salim mengaakan bahwa putra kita telah dipanggil oleh Allah
Swt dan kini sedang berbaring di kamar. Abu Thalhah lalu menghampiri jenazah
putranya itu seraya mengatakan inna
lillahi waina ilaii rajiun.
Keesokan arinya, Abu
Thalhah menghadap kepada Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang dikatakan
oleh Ummu Salim kepadanya. Beliau bersabda “: Demi Allah yang telah mengutusku
dengan kebenaran, Allah telah melontarkan ke dalam rahimnya seorang laki-laki sebagai balaan atas
kesabarannya ditinggal anaknya.”.
Sungguh mengagumkan
kesabaran Ummu Salim sebagai seorang
istri yang menyaari bahwa semua itu hanya titipan. Beliau memang panai menjaga
perasaan suami yang baru saja pulang dari niaga berbulan lamanya.
Harta,isteri, anak,dan
ilmu pegetahuan yang diberikan oleh
Allah harus dipelihara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Harta benda
misanya harus dipergnakan sebaik mungkin untuk mencari ridha Allah, baik untuk
memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun untuk kepentingan umat. Demikian pula
halna dengan ilmu pengetahuan yang kita
miliki harus dimanfaatkan untuk kesejaheraan umat manusia.
Menunaikan
Tugas dari Allah
Manusia dberi
kepercayaan/aanah oleh Allah untuk menjadi pemimpin/khalifah di muka bumi ini. Amanah yang berat ini semula ditawarkan
kepada bumi,langit, dan gunung-gunung .Hal ini sebagaimana difirmankan oleh
AllahSwt dalam S. Al Ahzab 72:
Artinya:” Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah keada langit, bumi,
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu karena mereka
khawatir (tidak kuat memikul) bahkan khawatir untuk menghianatinya. Kemudian
amanah itu dibebankan kepada manusia. Sesungguhnya manusia itu dhalim dan amat
bodoh”. Semua tugas yang dibebakan kepada manusia harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Sebab apapun yang dikerjakan manusia harus
dipertanggungjawabkan.
Tidak
Menyalahgunakan Kedudukan/jabatan.
Kedudukan adalah
kepercayaan/amanah dan sekaligus kehormatan,baik kedudukanformal atau kedudukan
nonformal. Apabila orang mampu menjaga kedudukannya secara baik, maka dia akan
tetap memiliki wibawa dan pengaruh meskipun secara formal tidak menduduki jabatan (struktural) lagi.Sebaliknya betapa
banyak orang yang hancur namanya begitu
turun dari kedudukan dan jabatannya. Bahkan keluar rumah saja tidak berani.Ini
semua sebagai akibat menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya untuk kepentingan
prbadi, partai, maupun kroni-kroninya.
Lasa Hs
Perpustakaan UMY
0 Komentar