Tidak sedikit orang kepingin menulis apalagi menjadi penulis terkenal.
Mereka senang bila bukunya dipajang di etalasi toko buku bergengsi. Mereka bangga bila namanya muncul di koran ternama. Apalagi bila bukunya menjadi buku best
seller
Menulis memang perlu teori, namun kadang justru terjebak oleh teori.
Terlalu banyak teori yang dibaca dan akhirnya tak menulis sampai mati. Menulis
butuh keberanian, ketekunan, dan kenekadan. Tanpa berani mencoba dan mencoba,
menulis hanya mimpi belaka.
Untuk bisa menulis perlu membaca (melek informasi, mengamati, meneliti). Kegiatan
ini merupakan proses akses informasi. Membaca perlu diikuti penulisan sebagai
kegiatan penuangan ide dan gagasan yang disampaikan kepada orang lain. Maka
membaca dan menulis merupakan kegiatan yang tak terpisahkan.
Membaca tanpa menulis ibarat orang pincang berjalan. Menulis tanpa membaca
ibarat orang buta berjalan. Apalagi tidak membaca dan tidak menulis , maka dapat
diibaratkan seperti orang pincang dan buta yang berjalan.
Kegiatan membaca dan menulis masih
rendah di negeri ini. Hal ini tidak saja terjadi pada masyarakat, bahkan di
kalangan akademisi juga terjadi kondisi yang sama. Penulisan di kalangan akademisi
baru sebatas keterpaksaan dan adanya aturan.
Menulis belum menjadi kesadaran bagi sebagian besar para intelektual
Menulis merupakan dunia terbuka yang boleh dimasuki siapapun. Menulis bukan
monopoli para intelektual. Profesi dan pekerja bidang apapun tidak ada larangan
untuk menulis. Mereka yang kepingin menulis
tidak harus mendaftarkan diri sebagai anggota penulis.
Kegiatan membaca (akses
informasi) dan menulis (proses merekam informasi & pengetahuan) merupakan
dua kegiatan keilmuan. Disamping itu, dua kegiatan itu memiliki makna yang luas
dalam rangka membentuk manusia berkualitas.
Pendahuluan
Membaca dalam pembahasan ini diartikan sebagai akses informasi. Menulis dalam
hal ini diartikan sebagai proses merekam informasi dan pengetahuan untuk
dikembangkan dan disosialisasikan. Membaca pada hakekatnya adalah proses
mengakses informasi dan pengetahuan melalui berbagai media. Menulis adalah
proses merekam, mengembangkan, dan memasyarakatkan informasi dan pengetahuan. Maka
membaca dan menulis merupakan kegiatan literasi informasi dalam arti luas. Sebab
literasi informasi pada hakekatnya adalah penanaman kesadaran dan kebutuhan
informasi, mengidentifikasi, mengakses informasi secara efektif efisien,
mengevaluasi , menggabungkan informasi, dan mengkomuniasikan informasi/pengetahuan
(Lasa Hs., 2017).
Dorongan
mengakses informasi kiranya dapat
dipahami dalam Q.S. Al ‘Alaq : 1- 5 yang artinya: Bacalah dengan (menyebut) Asma Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan TuhanmuYang
Maha Pemurah. Yang mengajar (
manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Dorongan merekam informasi dapat dipahami dari ayat Al Quran S.Al Qalam : 1 yang artiya:Nun, demi kalam dan apa yang
mereka tulis”.
Latar belakang
Perlunya motivasi dan kesadaran membaca (akses informasi) dan menulis
(merekam informasi) pada
masyarakat terutama pada kalangan intelektual dengan pemikiran dan latar
belakang sebagai berikut:
1.Rendah produksi buku dan penerbitan.
Produksi buku kita tergolong
rendah bila dibanding dengan produksi
buku di negara-negara lain. Sekedar ilustrasi, UNESCO pernah mencatat pada tahun 1993 bahwa
jumlah judul buku yang terbit di Indonesia hanya 0,0009 % dari jumlah
penduduk. Hal ini berarti bahwa pada tahun itu saja setiap satu juta orang
Indonesia hanya tersedia 9 (sembilan)
judul buku.
Keadaan ini menguatkan fakta betapa
rendahnya penulisan buku di negeri ini. Kondisi ini semakin kelihatan apabila
dunia perbukuan ini dibandingkan dengan perbukuan negara-negara berkembang yang
rata-rata 55 (lima puluh lima) judul buku untuk setiap satu juta penduduk. Sedangkan
dunia perbukuan di negara-negara maju, produksi buku telah mencapai 513 (lima
ratus tiga belas) judul untuk setiap satu juta orang.
Kemudian apabila
dibandingkan dengan produksi buku di beberapa negara Asia, maka
Indonesia hanya mampu menerbitkan sekitar 10.000 judul/tahun. Pada hal Korea telah mampu menerbitkan 26.000 judul/tahun, dan Jepang mampu
menerbitkan 100.000 judul/tahun (Nur Zakiyah, 2002: 2).
Perkembangan perbukuan di
Indonesia dari tahun ke tahun ternyata belum menunjukkan kenaikan yang
signifikan. Gibbs dalam Hernandono, (2008) mendaftar negara-negara penghasil
tulisan ilmiah, maka Indonesia termasuk satu negara yang dikategorikan sebagai negara
yang “kehilangan ilmu pengetahuan”. Sebab secara keseluruhan,
Indonesia hanya mampu menghasilkan tulisan/ilmu pengetahuan 0,012 % diantara
negara-negara lain. Kondisi inipun ternyata paling rendah di tingkat ASEAN.
Sebab Singapura mampu menerbitkan 0,179 %, Thailand menerbitkan 0,084 %,
Malaysia menerbitkan 0,064 % dan Filipina menghasilkan 0,035 %
2. Tulisan/rekaman sebagai media efektif dalam pengembangan diri dan potensi
masyarakat
Konon publish or perish (muncul atau musnah)
menjadi icon bagi kehidupan ilmuwan
mancanegara. Menulis bagi mereka merupakan ekspresi diri dan pengakuan atas
reputasi keilmuan seseorang. Mereka puas dan senang bercerita tentang buku baru
mereka bila bertemu dengan teman sejawat. Kondisi ini baru sebatas cerita
materi, jabatan, dan proyek, bahkan cerita anak cucu yang mereka hadapi di negeri tercinta ini.
Mereka belum bergerak signifikan dan menyadari pentingnya menulis buku meskipun
anggaran melimpah.
Tulisan mampu
menggerakkan potensi masyarakat. Rasulullah Saw mampu merubah dunia yang penuh
kegelapan (dhulumat) ke dunia terng
benderang (nur) antara lain melalui
ajaran-ajaran Ilahiyah yang termaktub dalam Al Quran dan Al Hadits. Bung Karno mampu
menggerakkan revolusi Indonesia sampai dipenjara antara lain melalui rekaman
tulisan yang tertulis dalam buku-buku Sarinah,
Di Bawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat dan lainnya.
3.Menulis dianggap beban atau keterpaksaan.
Penulisan karya akademik bahkan buku nampaknya masih merupakan keterpaksaan
dan belum menjadi kesadaran menulis. Rendahnya kesadaran penulisan diakui
banyak pihak. Di kalangan akademisi saja, mereka menulis karena tuntutan angka
kredit, terindeks Scopus, kenaikan jabatan/pangkat, dan rangsangan materi. Data
ini antara lain dikemukakan oleh Ahmad Fauzi (2017: 1) selaku anggota Evaluasi
Guru Besar menyatakan bahwa pada tahun 2015 jumlah publikasi ilmiah
internasional Indonesia yang mempunyai dampak dari Scimago Journal Rank/SJR
hanya 6.280. Semenatara itu, Malaysia sudah 23.414, Singapura 17.976, dan
Thailand 11.632. Padahal pada tahun 2016 tercatat 5.273 orang bergelar
profesor. Andaikata saja setiap tahun para profesor itu sadar untuk menulis
buku 1 (satu) judul per tahun, maka
setiap tahun di Indonesia akan mampu menghasilkan buku sebanyak 5.273 judul.
Namun sesuatu yang seharusnya belum tentu yang senyatanya.
Data lain menyebutkan bahwa rendahnya kesadaran menulis juga menimpa para guru yang notabene sebagai pendidik yang “digugu” dan “ditiru”. Sekedar
contoh bahwa di Indonesia terdat 1,4 juta guru yang berstatus PNS pada tahun 2009. Umumna
guru-guru tersebut menduduki gologan pangkat III/a – III/d yang jumlahnya
99.189 orang, golongan IV/a
sebanyak 334.189 orang, gologan
IV/b sebanyak 2.314 guru, dan golongan IV/c
hanya 84 orang guru, dan hanya 15 orang guru menduduki golongan pangkat IV/d (Kedaulatan
Rakyat 27 Maret 2009).
Menumpuknya guru di golongan III dan
IV/a ini kemungkinan besar ketidak
mampuan mereka untuk menulis karya tulis ilmiah. Sebab untuk naik ke golongan IV/b harus menulis karya ilmiah. Mereka bisa pensiun pada golongan IV/b karena
menggelundung.
Keterpaksaan menulis memang menimpa pada sebagaian besar sarjana kita.
Mereka terpaksa menulis skripsi, tesis, dan disertasi karena adanya peraturan.
Kenyataannya, sebagian besar mereka setelah lulus tidak menulis lagi. Bahkan
mereka yang dianggap intelektual saja, menulis itu masih berorientasi pada
angka kredit, royalti, dan popularitas yang bersifat materialis dan bukan
idealis. Dalam hal ini Sudarsono (2010:138) melakukan penelitian produktivitas dosen perguruan tinggi negeri terkenal di Yogyakarta
dengan 208 responden. Hasilnya adalah sebanyak 69 orang dosen (33,17 %) menulis
untuk mencari angka kredit, 28 orang (13,46 %) menulis buku untuk mendapatkan
royalti. Kemudian 22 orang (10.58 %) untuk mencari popularitas.
Sedangkan 89 orang (43,84 %) manyatakan lainnya.
BERSAMBUNG
0 Komentar