Tawakal
merupakan penyerahan diri kepada Allah Swt dengan tetap melaksanakan
perintahNya atas segala usaha yang telah dilakukannya. Hasil akhir yang
diharapkan tergantung atau pasrah pada ketentuan Allah Swt.
Atas
ketentuan ini, seseorang menerima dengan ridha dan yakin bahwa di balik itu
semua harus didahului dengan usaha atau ikhtiar secara optimal. Bukan pasrah
tanpa usaha. Ini bukan tawakal. Dalam hal ini Rasulullah Saw. menyatakan
:”Tidak dinamakan tawakal bagi orang yang mengobatkan dirinya dengan besi panas
atau dengan rajahan”. (H.R. Ahmad)
Orang-orang
yang hidupnya susah kadang memiliki jiwa tawakal tinggi. Mereka telah dididik
oleh keadaan untuk memiliki jiwa yang kuat dalam menerima penderitaan dan
kepapaan. Masalah penderitaan dan kesusahan kiranya telah menjadi bagian
kehidupan mereka. Lain halnya dengan orang yang serba kecukupan. Mereka sering
mengeluh bahkan cengeng bila mendapatkan musibah sedikit saja. Jiwa tawakal
mereka sangat rapuh.
Apabila
orang betul-betul tawakal kepada Allah Swt setelah berusaha optimal, maka Allah
akan memberikan perlindungan dan pertolongan. Pertolongan ini sering tak
terbayangkan oleh manusia.
Suatu
ketika Rasulullah Saw. pergi ke rumah Ka’ab bin al Asyaraf seorang Yahudi Bani
Nadhir. Kepergian ini disertai para sahabat seperti Abu Bakar as Shidiqi, Umar
bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan Abdurrahman bin
Auf untuk pinjam uang sebagai pembayar denda (diyat).
Ketika
Rasulullah Saw dan para sahabat itu sampai di rumah orang Yahudi itu, maka
orang-orang Yahudi itu mengambil makanan untuk para tamu itu. Ketika Rasulullah
Saw dan para sahabat sedang duduk-duduk, Haj bin Akhtan berkata kepada kawannya
tanpa sepengetahuan Nabi Saw. Katanya:”Kalian tidak dapat melihatnya lebih
dekat daripada sekarang ini. Maka cobalah timpakan batu di kepalanya agar
mereka mati. Kalian sangat mudah untuk melakukannya”.
Orang-orang
Yahudi itu kemudian mengangkat batu besar penggiling gandum untuk ditimpakan
kepada Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Namun Allah Swt menahan batu itu,
dan menyelamatkan Rasulullah dan para sahabat.
Orang-orang
yang mampu bertawakkal dalam arti sesungguhnya, maka mereka itu memiliki iman
yang kokoh. Mereka selalu tenang dalam menghadapi hari esok dalam setiap
langkah. Mereka tidak cemas tentang apa yang dimakan besok pagi, lusa, dan
seterusnya. Mereka itulah sebenarnya sebagai orang yang kuat. Rasulullah Saw
bersabda :”Apabila ingin menjadi orang kuat, hendaknya bertawakal kepada Allah
Swt. Apabila ingin menjadi orang paling kaya, maka mantapkanlah atas jaminan
Allah melebihi (kekayaan) yang telah dipegangnya (harta yang telah ada)”. (HR
Ibnu Abbas r.a.)
Disamping
itu, baik juga kita simak, renungkan, dan pahami apa yang tersirat pesan Lukman
Al Hakim kepada putranya:” Wahai anakku, sampai saat ini telah banyak
pesan-pesanku kepadamu. Sekarang bapak akan berpesan enam perkara sebagaimana
telah dipesankan orang-orang terdahulu dan orang-oang sebagai generasi
mendatang yakni:
Pertama, jangan terlalu sibuk dengan
urusan duniamu, kecuali sekedar mencukupi keperluan sisa umurmu di dunia ini.
Kedua, beribadahlah kepada Allah Swt
sebagai Tuhanmu
Ketiga, beramallah untuk akhiratmu
sesuai keinginan hidupmu di sana nanti.
Keempat, berusahalah ntuk membebaskan
diri dari siksa api neraka.
Kelima, dengan kekuatan sabarmu, maka
kuatkan dirimu untuk mencegah kemunkaran.
Keenam, carilah tempat yang tidak
dilihat Allah Swt dan malaikatNYa bila engkau ingin berbuat maksiat kepadaNya”.
Lasa Hs
0 Komentar