HAK AKSES INFORMASI PEMUSTAKA DISABILITAS DI
PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI
Nur Hasyim Latif
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak
Perpustakaan
perguruan tinggi sebagai pusat informasi civitas akademika mampu memberikan
layanan bagi semua elemen yang ada di perguruan tinggi, termasuk bagi pemustaka
yang berkebutuhan khusus. Semua elemen perguruan tinggi harus saling mendukung
agar sistem pendidikan dapat dinikmati secara merata dan adil bagi pemustaka
disabilitas.
Teknologi
yang semakin berkembang di perpustakaan tidak serta merta memberikan hak akses
informasi secara penuh bagi pemustaka disabilitas. Penulis mencoba menjabarkan
beberapa hal yang perlu dilakukan oleh perpustakaan perguruan tinggi dalam
memberikan layanan prima kepada pemustaka disabilitas. Karena akses informasi
merupakan salah satu sarana memperoleh pendidikan dan hak setiap individu dalam
belajar dan mengajar sepanjang hayat tanpa membedakan status ekonomi dan fisik.
Kata Kunci: Hak
Akses Informasi, Pemustaka Disabilitas, Layanan Prima
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan aspek kebutuhan individu dalam sehari-hari. Termasuk ketika seseorang
ingin melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi. Salah satu
permasalahan pendidikan perguruan tinggi adalah masih terbatasnya akses bagi masyarakat
indonesia yang memiliki penyandang disabilitas. Sehingga setiap perguruan
tinggi diharapkan menerapkan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi di
perguruan tinggi begitu penting bagi mahasiswa yang termasuk dalam kategori Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Belum semua perguruan tinggi di indonesia memiliki
pusat layanan disabilitas. Pendidikan inklusi bukanlah semata-mata memasukkan
ABK ke perguruan tinggi saja, namun justru orientasinya pada layanan pendidikan
yang semestinya mereka dapatkan sesuai dengan kebutuhan setiap anak.
Satuan
pendidikan di perguruan tinggi bukan hanya tempat berkumpulnya sivitas
akademika ,namun merupakan suatu tataran sistem yang saling berkaitan termasuk perpustakaan
perguruan tinggi sendiri. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa pasal 2 disebutkan bahwa “pendidikan
inklusif mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman,
dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik”. Selain itu pernyataan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The
Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) juga memperkuat dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas termasuk
dalam bidang pendidikan.
Mengenai
hak akses informasi dapat dijelaskan melalui peraturan hukum internasional
dalam Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia (Universal Declartion Human
Right/UDHR) pada pasal 19 dijelaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
bebas berpendapat dan berekspresi. Hak yang dimaksud tersebut termasuk hak
memilki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, serta
menyampaikan informasi dan ide melalui media apa saja tanpa memandang
batas-batas tertentu. Batas-batas inilah yang sekiranya bisa menjadi salah satu
faktor pembeda yang besar ketika seorang pemustaka disabilitas berusaha
mendapatkan haknya di perpustakaan perguruan tinggi.
Perpustakaan
perguruan tinggi sebagai pusat informasi sivitas akademika yang merupakan salah
satu elemen penunjang pendidikan di perguruan tinggi juga harus mampu
memberikan layanan kepada sivitas akademika secara adil dan merata. Menurut
Undang-Undang Perpustakaan no 43 tahun 2007, pada pasal 5 ayat 1 poin a
masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh layanan serta memanfaatkan
dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan. Hak akses informasi yang dimiliki
setiap pemustaka harus bisa dinikmati secara menyeluruh. Layanan prima yang
selama ini didengungkan harus bisa dicapai oleh para pemustaka termasuk
pemustaka penyandang disabilitas.
Penyebutan
disabilitas bisa jadi merupakan awal sebuah proses tidak terpenuhinya hak-hak
yang dimiliki. Diperlukan paradigma baru yang menyatakan bahwa pemustaka disabilitas
merupakan subjek yang memilki hak dan mampu mengambil keputusan bagi mereka
sendiri sebagai salah satu elemen perguruan tinggi yang bertujuan untuk belajar
bersama dengan elemen perguruan tinggi lainnya
Beranjak
dari uraian tersebut, penulis bermaksud untuk menuangkan gagasan atau ide yang berjudul
“Hak Akses Informasi Pemustaka Disabilitas di Perpustakaan Perguruan Tinggi”.Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahannya
yaitu “bagaimana pemenuhan hak akses informasi pemustaka disabilitas di
perpustakaan perguruan tinggi?”. Pada pembahasan ini penulis bertujuan ingin
menjabarkan beberapa hak akses informasi bagi pemustaka difabel melalui layanan
yang diberikan oleh perpustakaan perguruan tinggi.
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pasal 1, disebutkan
bahwasanya:
“Penyandang Disabilitas adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Lebih
lanjut dalam pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,
dinyatakan bahwa yang dimaksud masyarakat disabilitas adalah:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan
belajar;
h. lamban belajar;
i.
autis;
j.
memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban
penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;
l.
memiliki kelainan lainnya;
m. tunaganda
International Classification of
Functioning Health and Disability (ICF)
sebagaimana disebutkan oleh Syafi’ie dalam Hasyim (2016) menyebutkan bahwa beberapa
klasifikasi penyandang disabilitas, sebagai berikut :
- Kategori intelektual: Retardasi Mental (Tuna
Grahita); dan Lamban Belajar (slow learner).
- Kategori Mobilitas: Gangguan Anggota Tubuh (kaki,
tangan, dll);
- Kategori Komunikasi: Gangguan Wicara; Gangguan
Pendengaran; Autis; dan Tuna Grahita Berat.
- Kategori Sensori: Gangguan Pendengaran; Gangguan
Penglihatan; dan Kusta.
- Kategori Psikososial: Autism; Gangguan Perilaku
dan Hiperaktivitas (ADHD); Kleptomani; Bipolar; dan Gangguan Kesehatan
Jiwa.
Indonesia sebagai negara
hukum memiliki kewajiban dalam melindungi masyarakatnya, khususnya kepada warga
negara penyandang disabilitas. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah
melindungi hak-hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas. Keberpihakan
sebuah negara terhadap penyandang disabilitas merupakan suatu bentuk kewajiban
negara dalam melindungan hak asasi manusia.
2.
Hak
Penyandang disabilitas
Perguruan
tinggi yang selama ini disebut-sebut sebagai sekolah tinggi yang dapat menjamin
setiap masyarakat indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak, belum
sepenuhnya memperhatikan masyarakat disabilitas. Hal ini terbukti dengan
minimya masyarakat kelompok ini melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi
karena ada batas-batas tertentu yang tidak bisa bisa dicapai. Lebih lanjut lagi
masih banyak perguruan tinggi di indonesia khususnya di Yogyakarta yang
terkenal dengan nama kota pelajarnya belum sepenuhnya mampu untuk memberikan
sarana dan prasarana bagi pemustaka penyandang disabilitas.
Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas beerapa hak penyandang disabilitas adalah:
a.
Hak hidup (pasal 6)
b.
Hak bebas dari stigma (pasal 7),
mencakup hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait
kondisi disabilitasnya.
c.
Hak privasi (pasal 8)
d.
Hak keadilan dan perlindungan
hukum (pasal 9)
e.
Hak pendidikan (pasal 10)
f.
Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan
koperasi (pasal 11)
g.
Hak kesehatan (pasal 12)
h.
Hak politik (pasal 13)
i.
Hak keagamaan (pasal 14)
j.
Hak keolahragaan (pasal 15)
k.
Hak kebudayaan dan pariwisata
(pasal 16)
l.
Hak kesejateraan sosial (pasal
17)
m. Hak
aksesibiltas (pasal 18), meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk
memanfaatkan fasilitas publik dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai
bentuk aksesibilitas bagi individu.
n.
Hak pelayanan publik (pasal 19)
o.
Hak perlindungan dari bencana (pasal
20)
p.
Hak habilitasi dan rehabilitasi (pasal
21)
q.
Hak pendataan (pasal 22)
r.
Hak hidup secara mandiri dan
dilibatkan dalam masyarakat (pasal 23)
s.
Hak berekspresi, berkomunikasi
dan memperoleh informasi (pasal 24)
t.
Hak kewarganegaraan (pasal 25)
u.
Hak bebas dari diskriminasi,
penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi (pasal 26)
Beberapa
hak penyandang disabilitas berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pasal 5 disebutkan bahwa salah satu
hak penyandang disabilitas adalah mendapatkan pendidikan yang layak. Pada pasal
10 yang lebih lanjut, dinyatakan kembali hak pendidikan tersebut meliputi:
a.
mendapatkan pendidikan yang
bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
secara inklusif dan khusus;
b.
mempunyai kesamaan kesempatan
untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua
jenis, jalur, dan jenjang pendidikan;
c.
mempunyai kesamaan kesempatan
sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua
jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; dan
d.
mendapatkan akomodasi yang layak
sebagai peserta didik.
Berdasarkan
hal tersebut kedudukan antara mahasiswa normal dan mahasiswa penyandang disabilitas
dalam hal mendapatkan pendidikan memiliki hak yang sama. Artinya semua elemen
pendidikan yang ada di perguruan tinggi harus dapat diakses secara mudah oleh
mahasiswa disabilitas.
3.
Hak
Akses Informasi Pemustaka Disabilitas
Masih minimnya fasilitas, sarana dan
prasarana yang bisa di akses oleh sivitas akademika disabilitas menambah
terbatasnya akses informasi yang mereka dapatkan. Masalah ini adalah masalah
secara umum yang miliki setiap perguruan tinggi kecuali yang memang sudah
memiliki pusat layanan disabilitas. Perpustakaan perguruan tinggi sebagai pusat
layanan informasi yang tidak terbatas dalam memberikan hak akses informasi
terhadap pemustaka disabilitas bisa semaksimal mungkn apabila dapat ditunjang
oleh beberapa hal.
a.
Teknologi Layanan
Prima
Menurut IFLA dalam Aziz (Aziz,2014)
beberapa fasilitas, sarana dan prasarana yang seharusnya diperhatikan oleh
perpustakaan yang berkaitan dengan pemustaka disabilitas mencakup beberapa hal;
1) Area parker, lingkungan, dan seluruh area perpustakaan harus dapat diakses
bagi pemustaka disabilitas, 2) pintu masuk otomatis, 3) ruang perpustakaan yang
aksesibilitas dan memiliki tanda-tanda tertentu khusus pemustaka disabilitas,
4) kamar kecil khusus disabilitas, 5) meja sirkulasi yang mudah digunakan, 6) children
department, pemustaka disabilitas anak-anak memiliki ruang layanan informasi
khusus.
Layanan prima yang selama ini menjadi
slogan andalan
setiap perpustakaan perguruan harus segera diwujudkan. Apapun itu, terhadap
pemustaka biasa maupun pemustaka khusus seperti disabilitas. Hal yang paling
mendasar dalam memberikan layanan kepada pemustaka disabilitas adalah adanya
aksesibilitas fisik secara memadai. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah
layanan unggulan perpustakaan seperti Difabel Corner.
Salah satu Difabel Corner
Perpustakaan Perguruan Tinggi adalah Difabel Corner UIN Sunan Kalijaga. Difabel
Corner memiliki arti penting sebagai teknologi alat bantu pemustaka disabilitas
dalam memperoleh kemudahan akses informasi di perpustakaan. Sehingga pemustaka disabilitas
dapat mengakses informasi secara mandiri.Beberapa layanan yang dimiliki Difabel
Corner (Isrowiyanti,2013) adalah Digital talking book player (DTB), Scanner
dan software optical character recognition (OCR), Closed circuit
television (CCTV), buku braille, buku audio, buku digital, Software
pembaca layar (job access with speech/JAWS), Katalog online, dan
E-book.
b. Sumber Daya Manusia
(SDM) Pustakawan yang Profesional
Pustakawan merupakan
makhluk sosial, yang selalu berhubungan dan berinteraksi dengan para pemustaka.
Oleh karena itu pustakawan harus memiliki sikap profesionalisme. Artinya tanggung
jawabnya sebagai pustakawan harus sampai kepada pemustaka termasuk pemustaka disabilitas. Pustakawan tidak boleh
membeda-bedakan secara fisik setiap pemustaka. Untuk
menjadi staf yang profesional, seorang pustakawan perlu memiliki kompetensi,
kepribadian, dan kecakapan (Anawati, 2015). Profesional memiliki arti
bahwasanya pustakawan harus memiliki rasa empati kepada pemustaka disabilitas,
maka kemampuan intrapersonal dan interpersonal pustakawan harus selalu di
tingkatkan serta melayaninya dengan ilmu. Perkembangan teknologi perpustakaan
khususnya bagi disabilitas, pustakawan dituntut selalu siap dengan keadaan
apapun. Memperluas wawasan dan ilmu serta memiliki rasa tanggung jawab yang
besar akan memudahkan bagi pustakawan untuk membangun hubungan yang baik dengan
pemustaka disabilitas. Selain itu pustawakan harus memiliki daya kritis terhadap
permasalahan perpustakaan dan mampu memberikan sesuatu yang produktif,
bermanfaat bagi civitas akademik, serta solutif (Fatmawati, 2016). Dengan
kemampuan inilah pustakawan bisa mengintegrasikan diri dengan keadaan apapun
ketika pada saat itu diperlukan.
Penulis memiliki sebuah ide untuk
lebih mendekatkan antara pemustaka disabilitas dengan perpustakaan yakni adanya
perekrutan pustakawan disabilitas. Apabila perekrutan pustakawan disabilitas tidak
memungkinkan setidaknya ada perekrutan pemustaka disabilitas yang magang
sebagai tenaga bantu di Difabel Corner. Hal ini dirasa penting, karena akan
membangun rasa kesetaraan pada pemustaka disabilitas. Komunikasi antara
pustakawan disabilitas dan pemustaka disabilitas akan lebih efektif lagi karena
pustakawan disabilitas akan lebih memahami karakter sesama. Namun hal ini
menjadi perhatian khusus, karena perekrutan pemustaka disabilitas akan
membutuhkan banyak pertimbangan, terutama pelatihan khusus pustakawan disabilitas.
c.
Layanan
Khusus
1)
Story
telling
Kondisi psikis seorang pemustaka disabilitas
pasti berbeda dengan pemustaka pada umumnya. Kadangkala kondisi inilah yang
dapat menyebabkan seorang pemustaka disabilitas merasa minder untuk bergaul
lebih lanjut dengan pemustaka lainnya. Oleh karena itu, diperlukan suntikan
normal supaya pemustaka disabilitas ini dapat membangun dirinya sendiri.
Pustakawan, selain melayani bahan
pustaka harus memiliki social soft skill. Kemampuan ini sangat berguna di jaman
berteknologi sekarang ini. Salah satu social soft skill pustakawan adalah story
telling. Layanan story telling bagi pemustaka disabilitas tentu akan membangun
rasa sosial, karena manusia adalah makhluk sosial. Story telling bukan hanya
untuk anak-anak saja, namun setiap orang berhak mendapatkan pembelajaran sepanjang
hayat.
2)
Literasi
Informasi
Literasi informasi bagi pemustaka disabilitas
tentu sangat berbeda dengan pemustaka normal. Menurut Aziz (2015) kegiatan
literasi informasi bagi pemustaka disabilitas ini dapat semaksimal mungkin
memanfatkan perpustakan sebagai sumber informasi dan diharapkan antara pendidik
dan pustakawan dapat bekerja sama untuk mengidentifikasi bakat dan minat
peserta didik untuk dibimbing secara sistematis dengan memberikan sarana
kebutuhan informasi termasuk keahlian dalam menelusurinya.
Literasi
informasi sendiri merupakan sarana bagi pustakawan sebagai motivator, mediator,
fasilitator, serta evaluator dalam memberikan hak akses kepada pemustaka penyandang
disabilitas
PENUTUP
Untuk menghadirkan layanan prima
kepada pemustaka penyandang disabilitas, kemajuan teknologi di bidang
perpustakaan dan kemampuan pustakawan yang inovatif serta terbentuknya suatu
tatanan pendidikan inklusif yang baik, maka kebutuhan akses informasi pemustaka
penyandang disabilitas dapat terpenuhi. Adanya dukungan semua elemen pendidikan
di perguruan tinggi dapat meningkatkan kualitas diri pemustaka disabilitas
dalam mengakses layanan kampus serta untuk mewujudkan rasa kemanusiaan dalam
rangka mewujudkan cita-cita penyandang disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anawati, Sri. 2015.
Profesionalisme Pustakawan Dalam Layanan Informasi. Jurnal Pustaka Ilmiah. Diakses melalui http://journal.library.uns.ac.id/index.php/jpi/article/download/12/10
Aziz, Safrudin.2014. Perpustakaan Ramah
Difabel.Yogyakarta. Ar-Ruzz Media
Fatmawati, Endang . 2016.
Merajut Inovasi Pustakawan Perguruan Tinggi Untuk Mewujudkan SDM Perpustakaan
Berkualitas. Jurnal Pustakaloka Vol 8 No.2. Diakses melalui http://Jurnal.Stainponorogo.Ac.Id/Index.Php/Pustakaloka/Article/View/686
Hasyim, H.
D. (2016, September). Persepsi Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam
Undang-Undang No 4 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016, Dan Kuhperdata. In Prosiding Seminar Nasional (Vol.
1, No. 1, pp. 498-514). Diakses melalui http://journal.uniba.ac.id/index.php/Semnas/article/viewFile/196/181
Isrowiyanti. Mewujudkan Perpustakaan Perguruan Tinggi Yang Ramah
Difabel. Diakses melalui http://Id.Portalgaruda.Org/?Ref=Browse&Mod=Viewarticle&Article=167897
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif
Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau
Bakat Istimewa Diakses melalui http://Bit.Ly/2k90ze3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas Diakses melalui
http://Bit.Ly/2xpna4a
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) Diakses melalui http://Bit.Ly/2wocgzd
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007
Tentang Perpustakaan
0 Komentar