KH Muhammad
Khalil atau sering dipanggil mBah Khalil, lahir 27 Januari 1820.Beliau adalah
putra Kyai Abdul Latif yang menurut beberapa penuturan masih ada hubungan darah
dari Sunan Gunung Jati .mBah Khalil merupakan guru beberapai kyai P. Jawa dan
Madura. Para kyai yang pernah berguru kepadanya antara lain KH Hasyim ‘Asy’ari
(Pendiri NU), KH Wahab Hasbullan (Jombang), KH
Munawir (Krapyak Yogyakarta), KH
Bisri Mustofa (Rembang), bahkan konon Bung Karno pernah beruguru kepadanya.
Sejak kecil
sudah kelihatan sangat mencintai ilmu pengetahuan terutama pengetahuan agama
Islam. Pada tahun 1850 an beliau nyantri di ponpes Langitan Tuban, lalu ke pesantren
Cangaan Bangil, lalu ke pesantren Keboncandi. Di Ponpes Keboncandi ini beliau
berguru kepada Kyai Nur Hasan yang
kebetulan masih ada hubungan famili. Ketika nyantri di pesanten ini, beliau
menjadi buruh batik untuk mengidupi dirinya agar tidak menggantungkan diri pada
orang tua. Beliau sebenarnya anak orang berada, namun jiwa kemadiriannya angat
kuat. Baginya rizki yang diperoleh dari keringat sendiri itu lebih bernilai dan
memberikan kepuasan dari pada pemberian pihak lain.
Kehausan akan
ilmu pengetahuan tak terbendung. Beliau sagat ingin belajar ke Mekah Mukaramah.
Untuk mewujudkan impian ini,beliau nyantri di Pesantren Banyuwangi.Beliau
memilih pesantren ini dengan perikiraan bahwa pesantren ini memliki banyak
pohon kelapa . Dengan nyantri di
pesantren ini, beliau bisa menjadi buruh pemtik buah kelapa . Uang dari memetik
buah kelapa ini dia tabung. Sedangkan untuk makan sehari-hari, beliau bekerja
mengisi bak mandi, mencuci pakaian, dan menjadi juru masak teman-temannya.
Alhamdulillah, dengan kerja keras dan kerja cerdas untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari dan tabungan dari buruh memetik buah kelapa akhirnya mimpi
belajar ke Mekah terwujud. Pada ahun 1273 H/1859 M dengan uang tabungan memetik
kelapa ini beliau berangkat ke Mekah untuk belajar.Selama belajar di sana,
beliau menyalin kitab-kitab yang diperlukan para pelajar. Upah pekerjaan ini
untuk menyambung hidup dan belajar selama disana.
Sepulang dari
Mekah, beliau bersama dengan Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Sholeh as
Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Arab Pegon. Tuisan Arab Pegon ini
digunakan untuk menulis kitab, surat menyurat
dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura yang pada prinsipnya sama dengan tulisan Melayu/Jawi
Lasa Hs.
0 Komentar