Di kalangan Muhammadiyah selalu saja ada tarik ulur antara
kelompok yang menghendaki agar Muhammadiyah menjadi partai politik atau
menentukan arah politiknya. Di lain pihak juga ada kelompok yang menghendaki
agar Muhammadiyah tetap saja pada jalur semula. Artinya tidak usah ikut politik
praktis apalagi menjadi partai politik. Tarik ulur ini memang terjadi sejak
lama. Namun sejarah telah membuktikan bahwa ada beberapa tokoh Muhammadiyah
secara pribadi terjun langsung ke arena politik tanpa harus membawa-bawa
Muhammadiyah. Satu diantara mereka adalah K.H. Farid Ma’ruf.
Putra
Kauman Yogyakarta yang lahir 25 Maret
1908 ini sejak kecil memang, suka catur dan badminton. Ia pernah menjadi anggota Pengurus Partai Islam
Indonesia/PII. Beliau terjun ke gelanggang politik bersama K.H. Mas Mansur, Ki
Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Mudzakir, Abdul Hamid BKN, dan Mr. Ahmad Kasmat.
Partai
ini dibentuk di Sala pada tanggal 4 Desember 1938 yang anggota-anggota
pimpinannya berasal dari unsur pimpinan Partai Islam Indonesia/PARII yang
didirikan tahun 1932 oleh Pimpinan Muhammadiyah dan Persarikatan Pemuda Islam.
Kemudian dalam perkembangannya nanti PII membubarkan diri pada awal tahun 1942
bersaman dengan pendudukan Jepang di Indonesia.
Farid
Ma’ruf yang alumni Al Azhar Kairo itu pernah melawat ke Jepang selama tiga
bulan sebagai delegasi Majelis Islam A’la Indonesia/MIAI bersama Mr. Ahmad
Kasmat, S.A. Alamudi, H. Abdul Kahar Mudzakir, dan H. Mahfudz. Setelah kembali
ke Indonesia, beliau aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
Muhamamdiyah dan memang kehidupannya tidak dapat dilepaskan dari Muhammadiyah.
Bahkan mantan guru Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah ini pernah ditangkap Belanda
pada tahun 1941 bersama pejuang lain lalu dipenjara selama tiga bulan.
Penangkapan ini berdasarkan tuduhan bahwa beliau dan kawan-kawannya bekerjasama
dengan Jepang akan menggulingkan Pemerintah Belanda.
Perjuangan
memang tak mengenal menyerah dan memang banyak resikonya. Itulah pejuang dulu
berani menghuni tirai besi karena perjuangan dan bukan rebutan kursi. Atau
masuk penjara gara-gara korupsi. Memalukan memang oknum-oknum pendhalim rakyat
itu.
Farid
Ma’ruf yang juga seorang jurnalis itu pernah menjadi Wakil Ketua Partai Majelis
Syuro Muslimin Indonesia/Masyumi yang didirikan pada bulan Nopember 1947 di
Yogyakarta. Partai ini sebenarnya merupakan gabungan dari partai dan organisasi
Islam seperti Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, Muhammadiyah, dan Nahdhatul
Ulama/NU. Masyumi ini merupakan ekspresi
cita-cita umat Islam dalam bidang politik saat itu.
Kiyai
yang satu ini tidak lepas dari jabatan politik. Pada tahun 1945 ia ditugaskan
di Yogyakarta sebagai anggota Pimpinan Revolusi dalam menghadapi Jepang untuk
mempertahankan Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY. Kemudian pada tahun 1946 beliau
yang berpangkat Jendral Mayor (saat itu) ditugaskan sebagai staf PEPOLIT di Yogyakarta. Lalu mulai tanggal 13
Mei 1946 beliau duduk sebagai Dewan Pemerintah Daerah/Kepala Jawatan Sosial
DIY.
Karir
dan prestasinya di bidang pemerintahan kecuali sebagai Dewan Pemerintahan
Daerah dan Kepala Jawatan Sosial DIY, juga sejak tahun 1951 sampai 1965 ia
diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama DIY. Pada tahun 1965-1966 ia diangkat
sebagai Menteri Urusan Haji yang kemudian menjadi Deputi Menteri Urusan Haji
dan terakhir sebagai Direktur Jendral Urusan Haji. Ia pernah menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung/DPA, anggota MPRS dan anggota Pimpinan Angkatan 1945
di Yogyakarta.
Disamping
kesibukannya di pemerintahan dan Muhammadiyah, Farid Ma’ruf juga aktif di dunia
pendidikan. Beliau pernah diangkat sebagai Guru Besar Luar Biasa di UGM, IAIN
(sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Akademi Tabligh (Fakultas Ilmu Agama dan
Dakwah/FIAD) dan sejak tanggal 18 Nopember 1960 beliau dipercaya sebagai Rektor
IKIP Muhammadiyah (sekarang Universitas Ahmad Dahlan).
Sebagai
tokoh Islam dan politikus, beliau sering mengadakan lawatan ke luar negeri.
Pada tahun 1952 bersama Dr. Moch. Hatta(Wakil Presiden RI) beliau melawat ke
Mekah, Kairo, Libanon, Siria, dan Pakistan. Kemudian bersama Dr. Roeslan
Abdulgani, beliau melawat ke Italia, Vatikan, Yugoslavia, Hungaria, dan Uni
Sovyet. Pada tahun 1962 ia ke Mekkah, Beirut, Bangkok, Singapura. Bahkan ketika
berkunjung ke Pakistan, beliau bertemu langsung dengan Moch. Iqbal seorang
pujangga dan pemikir Islam yang terkenal itu. Dalam kesempatan pertemuan yang
berlangsung satu jam itu, pujangga itu menitip pesan kepada umat Islam
Indonesia. Farid Ma’ruf sempat mencatat pesan itu yang aslinya dalam bahasa
Inggris dan terjemahannya kurang lebih
:”Saya sangat gembira ketika bertemu tuan Muhammad Farid dari Indonesia yang
sedang kembali dari Mesir ke kampung halamannya Indonesia, bahwa umat Islam
Indonesia telah sadar akan desakan jaman dan tengah bersiap-siap memperjuangkan
kemerdekaan bagi tanah airnya. Tuan Muhammad Farid ingin agar saya menyampaikan
pesan dengan perantaraan dia kepada saudara-saudara saya di Indonesia. Maka
inilah pesan saya kepada mereka (umat Islam Indonesia) sebagimana telah saya pesankan kepada rakyat
Mesir dua tahun lalu. Pada masa kegoncangan rohaniah seperti sekarang ini,
tetaplah setia berpegang kepada tuntunan Rasulullah SAW dan kepada ajaran serta
cita-citanya yang tercermin dalam seluruh kehidupan beliau. Janganlah dilupakan
bahwa kaum muslimin se dunia memikul tugas suci yaitu untuk mempersatukan tidak
hanya semua suku dan bangsa, akan tetapi juga segala macam agama yang dianut
oleh umat manusia. Agama Islam tidak akan memberikan tujuan hidup lain, karena
Islam itu sendiri adalah tujuan hidup”.
Kiyai
yang satu ini memang serba bisa. Sebab disamping kesibukannya di dunia politik,
pendidikan, dan Muhammadiyah, beliau masih sempat menulis beberapa buku.
Kebiasaan menulis inilah yang perlu
mendapat perhatian kita selaku orang-orang Muhammadiyah agar nilai-nilai
Kemuhammadiyahan dapat berkembang dari genersi ke generasi. Sebab tulisan
terutama buku akan bernilai abadi. Maka kiyai ini meninggalkan tulisan-tulisan
dalam bentuk buku antara lain: Sejarah Siti Aisyiah, Melawat ke Jepang, Ethika,
Ilmu Dakwah, Diklat Bahasa Arab, Analisa Akhlak dalam Perkembangan
Muhammadiyah, Asuransi Jiwa Menurut Pandangan Islam, dan Penjelasan tentang
Maksud dan Tujuan Muhammadiyah.
Beliau
pernah menjadi pimpinan Suara Muhammadiyah dan memperoleh beberapa satyalencana
antara lain: Satyalencana Peristiwa Perang Kemerdekaan ke satu dan kedua,
Satyalencana Karya Setia Klas II. Beliau pulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit
Islam Jakarta (RSIJ) pada tanggal 6 Agustus 1976 dan meninggalkan seorang
isteri dan sembilan orang anak (4 laki-laki dan 5 perempuan). Almarhum
meninggal ketika menjabat sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Jenazahya dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta.
Lasa Hs.
0 Komentar