Judul : Jalan Cinta Buya
Penulis: Haidar Musyafa
Penerbit: Tangerang
Selatan: Imania, 2017
ISBN : 98-602-7926-32-5
Tebal: 524 halaman
Umat Islam
Indonesia bangga pernah memiliki ulama kharismatik, multitalenta, toleran, dan
teguh pendirian. Adalah Buya Hamka yang
memiliki prinsip, keteguhan, keuletan, dan ketawakalan yang tinggi. Beliau
merupakan putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, bahkan Asean dan muslim
Jepang.
Dalam perjalanan
hidupnya beliau menunjukkan sikap toleran kepada kawan yang beda pendapat.
Beliau sangat dekat dengan K.H.Idham Khalid seorang tokoh NU. Apabila keduanya
bertugas dakwah berbarengan di suatu daerah, dan Buya menjadi imam shalat
Shubuh, maka beliau mengunakan do’a qunut. Hal ini untuk menghormati rekannya
(KH Idham Khalid) yang biasa shalat shubuh dengan membaca qunut. Sebaliknya
apabila KH Idham Khalid menjadi imam shalat Shubuh, maka beliau tidak membaca
do’a qunut. Sikap ini untuk menghormati Buya Hamka yang biasanya shalat Shubuh
tidak menggunakan do’a qunut.
Meski beda
pendapat bahkan pernah hidup di penjara pada rezim Soekarno, Hamkapun tidak
dendam dan tetap baik kepada mereka yang tak sepaham. Buktinya ketika Bung
Karno wafat dalam usia 69 tahun. Hamkalah yang menjadi imam shalat jenazah di
Wisma Yaso. Seusai melaksanakan shalat jenazah, Hamka bergabung dengan para
tokoh penting yang sudah hadir lebih dulu. Banyak orang memuji dan
menyanjungnya atas sikap kepada orang yang pernah memenjarakannya selama 2
tahun 6 bulan. Namun ada juga seseorang yang menanyakan sikap Hamka ini,
katanya :” Apakah Hamka tidak dendam atau sakit hati dengan Bung Karno?.
Padahal dia yang memerintahkan untuk menangkap dan memasukkan Buya Hamka ke
dalam tahanan ?. Orang itupun masih mlanjutkan protesnya “Bung Karno itu adalah
seorang munafik, karena menginkari ajaran agamanya sendiri dan membela
kepentingan orang-orang komunis. Mengapa Buya Hamka yang seorang ulama alim dan
pernah didzalimi oleh Bung Karno bersedia menjadi imam shalat jenazahnya?.
(halaman 432). Mendengar klaim seperti ini, ulama tersohor ini memberikan
penjelasan dengan tenang, katanya:” Sungguh, hanya Allah Ta’ala yang
Mengetahui, apakah seseorang itu munafik atau tidak. Yang Jelas, sampai Bung
Karno meninggal dunia, aku melihat beliau masih tetap sebagai seorang Muslim.
Oleh karena itu, kita sebagai sesama Muslim berkewajiban untuk menyempurnakan
jenazah beliau dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk menshalatkan
jenazahnya sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Selain itu, Bung Karno
adalah orang yang memiliki jasa besar untuk rakyat negeri ini, khususnya umat
Islam di Indonesia. Berkat usaha dan kerja keras Bung Karnolah dua masjid megah
berdiri di negeri ini. Satu masjid Baiturrahim yang ada di kompleks Istana
Negara Jakarta dan satunya lagi adalah Masjid Istiqlal yang merupakan masjid
terbesar dan termegah di seluruh Asia Tenggara. Sebagai rakyat biasa, aku hanya
bisa berdo’a, semoga dengan adanya dua masjid itu Allah Ta’ala mencatat Bung
Karno sebagai seorang yang memiliki tabungan amal jariyah, sehingga ruhnya
mendapat tempat terbaik di sisiNya” (halaman: 433).
Selayaknya tak
perlu saling manyalahkan masalah furu’iyah. Saatnya kita toleran terhadap
perbedaan, dan bukannya membesar-besarkan perbedaan, apalagi mencari-cari
kelemahan pihak lain hanya untuk kepentingan sesaat.
Dalam
buku berbentuk novel biografi ini dijelaskan betapa teguhnya seorang Buya Hamka
dalam memegang prinsip yang tidak larut oleh kepentingan sesaat (jabatan,
politik, popularitas, dll) . Suatu ketika dr. Tarmizi Tahir (saat itu sebagai
Menteri Agama RI) menanyakan kepada beliau mengapa beliau mundur dari jabatan Ketua
Majelis Ulama Indonesia/MUI (Hamka sebagai ketua MUI pertama kali). Buya
pun menyatakan :”Tarmizi, Ulama itu tidak boleh dipaksa-paksa. Ulama itu
yang justru dengan ilmu dan ijtihadnya yang harus memaksa umat yang salah agar
bersedia mengakui kesalahannya dan kembali pada jalan yang benar” (halaman::
xx).
Penulis
Tafsir Al Azhar itu sejak 1942 telah bersahabat akrab dengan Bung Karno dan Haji
Karim Oei (nama lengkap Oei Tjen Hien), saat itu Bung Karno sebagai tahanan politik Belanda. Sedangkan
Hamka sebagai aktivis Muhammadiyah dan penulis muda yang sangat produktif.
Kecuali berjuang dengan pena, beliau juga bergabung dalam Barisan Pertahanan
Nasional (BPN) dan Front Pertahanan Nasional (FTN). Ketika berjuang di medan
perang itu, beliau juga harus membahagiakan isteri dan putra-putranya yang
masih kecil.
Sebagai seorang
manusia, kadang muncul keraguan dalam hatinya. Mana yang harus dipilih antara
berjuang membela negara atau menghidupi isteri dan anak-anak yang masih sangat
membutuhkan kasih sayang orang tua. Dalam kebimbangan ini, beruntunglah Hamka
memiliki istri yang shalihah, tabah, dan tawakal dan memotivasi suami untuk
berjuang mengenyahkan ketidak adilan. Ketika Buya akan berangkat ke medan
perang dan pamit pada Siti Raham (istri Hamka). Siti Rahampun
menyatakan:”Selama ini aku selalu berusaha untuk menunaikan amanah Engku Haji
dengan sebaik-baiknya. Selama Engku Haji berada di luar rumah, saya selalu
membimbing anak-anak untuk belajar dan mengaji. Saya ingin anak-anak tumbuh
menjadi anak yang shaleh dan berbakti pada kedua orang tua, juga berguna bagi
agama dan negara seperti harapan Engku Haji selama ini “. (halaman :104)
Novel biografi
ini mengisahkan perjalanan hidup seorang Hamka yang mengalami berbagai
penderitaan, kesedihan, dan fitnah. Duka dan derita dirasakan sebagai seorang
pejuang kemerdekaan dan kebenaran. Ketika di Maninjau (1948) beliau berjuang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jakarta, 1950
Atas
dorongan Bung Karno, Hamka dan keluarga diminta hijrah ke Jakarta. Di Ibu kota
RI ini, Hamka memulai karir sebagai pegawai Kemenag RI, penulis, sastrawan,
ulama, pemikir, dan penceramah. Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, namun
kiprahnya dikenal luas di mancanegara seperti Malaysia, Brunei, dan Jepang.
Sebenarnya
ketika mendapat surat dari Bung Karno agar pindah ke Jakarta, Hamkapun
ragu-ragu atas tawaran itu. Beliaupun minta pendapat kepada kakak iparnya yakni
Kiyai Haji Sutan Mansyur. Tokoh Muhammadiyah ini menyatakan :” Sebaiknya kamu
turuti saja permintaan Presiden Soekarno, dinda Hamka. Saya yakin, jika kamu
menuruti permintaan proklamator kemerdekaan Indonesia itu, maka kamu akan
mendapat banyak hikmah nantinya”.(halaman 107)
Buku kisah
ulama besar yang ditulis dalam bentuk novel oleh Haidar Musyafa ini sangat
menginspirasi pembaca tentang semangat berjuang, nilai-nilai istiqomah,
kesabaran, katawakalan, dan sabar menghadapi perbedaan pendapat. Memang karya
penulis muda berbakat ini merupakan karya yang memikat, ditulis dengan bahasa
yang apik, menarik, sehingga seorang pembaca seolah-oleh menyimak penuturan
seorang tokoh yang ditulisnya.
Lasa Hs
0 Komentar