Judul : Komunikasi Politik Soekarno;
Mengguncang Dunia Lewat Pidato dan Tulisan
Penulis : Roni Tabroni
Penerbit :
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015
ISBN : 978-602-7973-19-0
Tebal : 350 hlm.
Pesan HOS Cokroaminoto
kepada murid-muridnya (termasuk Soekarno) :”Jika kalian ingin menjadi pemimpin
besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”. Pesan ini
direnungkan, diresapi, bahkan dipraktekkan oleh Soekarno (Kusno) yang nanti
menjadi Bung Karno.
Untuk bisa menulis,
beliau memelajari ratusan bahkan ribuan judul buku dalam berbagai bidang,
belajar langsung kepada para tokoh politik, dan berguru kepada para kiyai
(termasuk Kiyai Ahmad Dahlan). Kemampuan itu ditambah dengan semangatnya untuk menguasai
bahasa sebagai kunci ilmu pengetahuan (language
is the key of science). Beliau belajar dan menguasai berbagai bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa
Bali, bahasa Sunda, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Jerman,
bahasa Prancis, dan bahasa Jepang (halaman : 48).
Dengan penguasaan
berbagai bidang, bahasa, dan kekuatan baca inilah Bung Karno menjadi penulis
ratusan buku. Buku atau tulisan lain itu menjadi media komunikasi politik Bung Karno dengan rakyatnya, dan para penentangnya. Diantara buku-bukunya antara
lain; Sarinah, Indonesia Menggugat, Di
Bawah Bendera Revolusi, dan lainnya.
Maka Bung Karno sebagai penulis yang baik dan sekaligus sebagai pembaca yang
baik. Sebaliknya, tidak semua pembaca baik menjadi penulis yang baik.
Bung Karno mampu
melakukan komunikasi politik dengan lancar, juga didukung oleh kemampuan
berorasi. Kemampuan ini telah nampak ketika masih berusia 16 tahun, ketika
beliau mengikuti Studieclub.
Kemampuan ini diasah antara lain dengan mengikuti kemanapun HOS Cokroaminoto
berorasi dan tekun berlatih berorasi. Beliau berlatih di kegelapan malam, tanpa
sinar listrik dengan suara lantang, berirama, menghentak, dan menghanyutkan.
Sesekali beliau berperan sebagai tokoh Yunani, dan presiden Amerika Serikat.
Soekarno bukan
komunikator biasa, sebab kemampuan komunikasinya (tulis & lisan) diatas
rata-rata politikus pada umumnya. Memang saat itu orang sangat tertarik
mendengarkan/mengikuti pidato beliau meskipun hanya melalui radio. Radiopun
kadang satu desa hanya seorang yang memilikinya. Bahkan konon di sebuah desa
terpencil di Jawa Tengah, sebuah pesta pernikahan ditunda, gara-gara para tamu
lebih tertarik untuk mendengarkan pidato Bung Karno.
Keahlian berpidato
dengan intonasi yang baik, tutur kata yang sistematis, dan keluasan wawasan
membuat Soekarno tidak hanya memesona rakyat Indonesia, tetapi juga masyarakat
internasional. Bung Karno juga pernah menyitir Q.S. Al Hujurat 13, ketika
menyampaikan pidato berjudul To Build The
World a New di depan Sidang Umum PBB pada tahun 1960 (halaman 54). Bahkan
W.S. Rendra pernah menulis bahwa Bung Karno sebagai orator terkemuka dunia, di
samping Santo Johanes Pembaptis, Santo Ignasius, Martin Luther, Hitler, Thomas
Jefferson, Abraham Lincoln, Billy Graham, dan Buya Hamka.
Buku yang ditulis oleh Roni Tabroni yang aktivis Muhammadiyah ini,
menyajikan tema-tema komunikasi politik. Kelancaran komunikasi politik antara
lain perlu didukung oleh wawasan yang luas, gemar membaca, kemampuan menulis,
dan kemampuan sebagai orator.
Untuk menjadi pemimpin
hebat, kadang harus mengalami berbagai penderitaan. Sebagai calon pemimpin
bangsa, beliau berulang kali hidup dari penjara ke penjara lain. Bahkan
berulang kali mengalami percobaan pembunuhan. Pada tanggal 29 Desember 1929
beliau ditangkap ketika mengadakan rapat di Yogyakarta. Kemudian beliau
dijebloskan ke Penjara Banceuy, kemudian ke Sukamiskin. Selama 2 tahun, Bung
Karno dipenjara di Sukamiskin ini, lalu
dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Setelah itu, beliau terus mengadakan
pergerakan antipenjajah melalui tulisan, rapat, dan orasi. Maka pada 31 Juli
1933 tengah malam beliau ditangkap di rumah M. Husni Thamrin Jl. Sawah Besar
Jakarta. Dari sini, kemudian pada tahun 1934, beliau diasingkan ke Ende Flores
selama 4 tahun. Kemudian pada 14 Februari 1938, Bung Karno dipindahkan ke
Bengkulu, yang kemudian ke Padang. Ketika di Bengkulu, beliau sempat mengajar
di sekolah rakyat. Disini, beliau kenal dengan Fatmawati yang nantnya menjadi
isteri Bung Karno. Fatmawati bernama asli Fatimah adalah putra Hassan Din,
seorang tokoh dan pmpinan Muhammadiyah Bengkulu.
Buku ini ditulis dengan
bahasa populer, dengan gaya mencair, sehingga mudah dipahami. Juga disertai
cuplikan-cuplikan pidato Bung Karno dalam berbagai event. Hal ini menambah segarnya ingatan pada masa lalu,
seolah-olah kita berkomunikasi langsung kepada Sang Proklamator.
Komunikasi politik
melalui lisan dan tulis kea rah yang jelas merupakan kebutuhan tersendiri bagi
pendidikan politik masyarkat. Tulisan dan orasi yang membangun, menumbuhan
semangat berkemajuan itulah yang dibutuhkan. Bukannya saling merendahkan,
mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus),
suudz dzan, dan lainnya. Rakyat yang
cerdas ini selayaknya disuguhi informasi yang cerdas dan mendidik. Bukan
informasi tanpa data, prediksi yang asal-asalan, dan bukan kebohongan-kebohongan lain.
Lasa Hs.
0 Komentar