Firman Allah
yang artinya: “Kamu sekalian tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan,
tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui ” (Q.S Ali Imran: 92)
Menyebut
iman itu mudah, namun mencapai hasil iman itu yang sulit. Seseorang belum akan mencapai
kebaikan (birr) atau pribadi yang
baik kalau dia belum menginfakkan/menyumbangkan sesuatu yang dicintainya.
Setelah ayat
ini turun, maka sangat besar pengaruhnya bagi para sahabat Nabi Muhammad saw.
Mereka sangat ingin menjadi pribadi yang baik dengan memperhatikan orang banyak
dan tidak individualis.
Adalah Abu Thalhah seorang sahabat
Rasulullah saw dari kaum Anshar. Pak Thalhah memiliki kebun/tanah luas yang
subur di Bairuhaa’ . Tanah ini tidak terlalu jauh dari Masjid Nabawi Madinah.
Kebun ini dipelihara secara baik, dipupuk tanamannya, dijaga kebersihannya.
Dibayarnya pekerjanya sebelum keringat kering. Upah mereka tidak dikemplang. Pengemplangan (tidak bayar upah, hutang) menyengsarakan banyak
orang. Lingkungan dan sanitasinya dijaga betul. Maka tak heran bila Rasulullah saw beberapa kali singgahdi kebun
ini untuk minum airnya yang sangat bersih. Dengan pemilikan kebun yang subur
dan sering dikunjungi Nabi saw ini, maka nama Thalhah menjadi viral saat itu.
Thalhah tidak terlalu bangga dengan luasnya tanah yang dimilikinya itu. Iman yang kuat, mendorongnya untuk
menghibahkan tanah itu demi kamaslahatan umat. Beliau pun menemui Nabi Muhammad
saw dan menyatakan:”Aku ingin mengamalkan wahyi Ilahi itu, Ya Rasulullah.
Kekayaan yang paling aku cintai adalah kebun/tanah di Bairuhaa. Terimalah ya Rasulullah. Itu sebagai sedekahku. Aku
memberikan kuasa kepada Rasulullah untuk menyerahkannya kepada siapapun yang
pantas menerimanya.
Dengan
amat gembira, Rasulullah saw menerima penyerahan tanah untuk kemaslahatan umat
itu. Beliaupun menghargai Thalhah yang dengan ketulusan hati yang telah
menyerahkan tanah itu, meskipun tidak sampai ratusan ribu hektar.
Dengan
kebijakan Rasulullah saw, beliau menguasakan kembali kepada Pak Thalhah untuk
membagi tanah itu kepada siapapun yang dikehendakinya. Menurut riwayat hadits
Muslim, harta itu diberikan kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.
Demikian
pula dengan Zaid bin Haritsah mantan putra angkat Nabi Muhammad saw. Zaid ini
sowan kepada Nabi saw dengan menunggang kudanya yang sangat disayanginya. Kuda
ini diberi nama Subul. Beliaupun matur kepada Rasulullah saw:”Ya Rasulullah,
inilah kuda tungganganku yang engkau
tahu adalah yang paling aku sukai. Terimalah dia sebagai sedekahku dan sudilah
Rasulullan memberikannya kepada yang lebih pantas menerimanya, semoga hal ini
diterima Allah”.
Kuda
yang tangkas itu diterima Rasulullah saw sampai beliau melihat wajah Zaid
membayangkan kesedihan Zaid berpisah dengan kuda yang disayanginya. Akan tetapi
kepemimpinan Rasulullah saw adalah kememimpinan yang sangat mulia dan
bijaksana. Kemudian beliau menyuruh sahabat lain untuk menjemput Usamah putra
Zaid. Usamah sangat dicintai Rasulullah saw seperti cinta Rasul kepada Zaid bin
Haritsah. Setelah Usamah tiba, maka bersabdalah Rasulullah saw:” Kuda
tunggangan yang cantik ini telah diserahkan Zaid kepadaku, dan aku telah menerimanya dan aku berhak memberikannya
kepada siapapun yang aku kehendaki.Sekarang kuda ini aku serahkan kepada
Usamah”. Demikianlah keagungan kepemimpinan beliau. Tanah yang amat dicintai
Abu Thalhah disedekahkannya dan menguasakan kepada Nabi untuk memberikanmya kepada siapapun yang
dkehendakinya. Lalu Rasulullah saw menguasakan kembali kepada Pak Talhah.
Kemudian Pak Thalhah menghadiahkan kebuh/tanah itu kepada Zaid bin Tsabit dan
Ubay bin Ka’ab.
Demikian
pula dengan kuda Subul yang sangat dicintai oleh Zaid bin Haritsah. Setelah
kuda itu diterima Nabi saw, maka langsung diserahkan kepada Usamah yang juga putra Zaid bin
Haritsah. Dengan demikian barang yag berharga dan sangat dicintainya itu diterima
oleh orang-orang yang tidak jauh dari yang memberikannya.
(Sumber: Tafsir Al Azhar Juz 4,5,6, , 2015 : 6 – 7)
Lasas Hs.
0 Komentar