Ulama besar Sumatera Barat ini adalah putra Syekh Muhammad Amrullah dan
ibu Andung Tarawas. Waktu kecil bernama Muhammad Rasul, dan setelah menunaikan ibadah haji bernama Haji Abdul Karim Amrullah.
Muhammad Rasul mula-mula belajar bahasa
Arab kepada ayahnya sendiri, belajar fikih dan tafsir kepada Sultan Muhammad
Yusuf. Kemudian pada umur 16 tahun , ia belajar ke Makkah selama 7 (tujuh) tahun
belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi yang saat itu beliau menjadi
imam Masjidil Haram. Kebetulan saat itu ada dua putra Minang yang belajar
kepada Syekh Khatib yakni Muhammad Jamil Jambek dan Thaher Jalaluddin.
Kecuali belajar kepada Syekh Khatib, Muhammad Rasul juga berguru kepada ulama-ulama terkenal
saat itu antara lain Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar
Bajened, Syekh Saleh Bafadal, Syekh Hamid Jeddan, dan Syekh Sa’id Yaman. Beliau
pulang ke tanah air tahun 1901.
Beliau terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha,
maupun Syekh Jamaluddin Al Afghani yang merupakan ulama-ulama pembaharuan. Maka
setiba di tanah air, Haji Rasul diminta menjadi perwakilan majalah al Imam di Sumaatera. Majalah ini
sebenarnya merupakan perpanjangan tangan majalah al ‘Urwatul Wustha. Majalah al
Imam ini terbit di Singapura pimpinan Syekh Thaher Jalaluddin.
Di samping itu, bersama dengan Syekh
Haji Abdullah Ahmad menerbitkan majalah al
Munir yang terbit pertama kali tahun 1911.Pendiri lembaga pendidikan Sumatera
Thawalib ini pada tahun 1919 , bersama Syekh H. Abdullah Ahmad, dan Syekh
Muhammad Jamil Jambek mendirikan
Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Organisasi ini disahkan sebagai suatu badan
hukum oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1921.
Ketika beliau mengadakan lawatan ke
Jawa tahun 1925, beliau bertemu dengan HOS Tjokroaminoto dan KH. Ahmad Dahlan.
Dari keduanya, beliau berkesimpulan bahwa pengembangan Islam perlu diorganisir
secara baik. Maka perkumpulan Sendi Aman
Tiang Selamat yang pernah dibentuknya
itu lalu diganti menjadi Muhammadiyah cabang Sungai Batang, kampungnya sendiri. Kemudian sejak
1912 beliau pindah dari Sungai Batang ke Padang Panjang. Pada tahun itulah
secara resmi berdiri persyarikatan Muhammadiyah pertama kali di Sumatera Barat,
dan dari sinilah Muhammadiyah dikembangkan oleh murid-murid beliau ke seluruh
Sumatera.
Kegiatannya semakin nyata dalam
pengembangan Muhammadiyah di Sumatera Barat.
Sebagian besar keluarganya menjadi aktifis dan tokoh Muhammadiyah,
seperti Yusuf Amrullah (adiknya) menjadi
Ketua Muhammadiyah di Maninjau, Hamka (putranya) menjadi Konsul Muhammadiyah di
Medan.A.R. Sutan Mansur (murid dan menantunya) menjadi Konsul Muhammadiyah di
Minangkabau dan Ketua PP Muhammadiyah periode 1950 – 1953.
Pada tahun 1926, beliau mendapat anugerah Doktor Honoris Causa dari
Kongres Islam Se Dunia di Kairo. Penganugerahan ini bermula ketika beliau
menyampaikan pemikirannya dalam suatu seminar di Kairo yang membahas
penghapusan Kekhalifahan Islamiyah di Turki oleh Mustofa Kamal itu.
Namun di satu sisi dengan majunya
dunia pendidikan yang dikembangkannya pemerintah Belanda nampaknya tidak senang
terhadap perkembangan pendidikan ini. Maka oleh Belanda, beliau diasingkan ke
Sukabumi Jawa Barat pada tahun 1941 M selama satu tahun. Lalu pada masa pendudukan
Jepang 1942, beliau dipindahkan ke Jakarta sampai akhir hayatnya dalam usia 66
tahun dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karet Jakarta.
Sebagai ulama
besar, Haji Rasul meninggalkan karya-karya; 1) ‘Amdah al Anam fi ‘ilm al Kalam (1908); 2) Sullam al Ushul (tentang
Ushul Fiqh, 1914); 3) al ifshah (1919); 4) al Burhan (1922); 5) an Nida’
(1929); 6) al Faraid (1932); 7) al Kawakib ad Durriyah (1940; 8) Pedoman Guru
(1930); 9) al Bashair (1938); 10) Kitabur Rahmah (1922).
(Lasa Hs).
0 Komentar