MERDEKA BELAJAR: PRAKTIK
NYATA OLEH LASKAR PELANGI

Judul : Laskar
Pelangi: The Phenomenon
Pengarang : Asrori S. Karni
Terbitan : Jakarta: Mizan
Publika, 2008, 263 hlm.
Oleh :
Irkhamiyati, M.IP.*
Mendikbud baru di era kepemimpinan
Presiden Jokowi periode ke 2, yaitu Nadiem Makarim, sang bos Gojek, telah mengusung konsep “Merdeka Belajar”.
Sebenarnya yang dimaksud dengan merdeka belajar adalah kemerdekaan berfikir,
baik oleh guru dan murid. Merdeka belajar dimulai dari guru yang harus berfikir
secara mandiri. Guru memiliki kemerdekaan dalam menyiapkan dan mengevaluasi
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), memberikan nilai terhadap hasil ujian
siswanya (mengganti USBN dengan ujian asesmen, dan mengganti UN), serta
penerapan zonasi dalam PPDB yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi
ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Konsep merdeka belajar di atas
sebenarnya sudah diterapkan jauh sebelum dilontarkan oleh sang mentri. Nun jauh
di daerah Belitong di waktu itu. Puluhan tahun silam, di SD Muhammadiyah
Gantong yang hampir roboh, Pak Harfan dan Bu Muslimah sudah menerapkannya. Anggota
Laskar Pelangi yang berisikan anak-anak desa yang sangat jauh dari kecukupan
materi dan fasilitas untuk mendapatkan kesempatan belajar, adalah contoh nyata
“Merdeka Belajar”. Ya mereka, para guru dan murid yang penuh dengan
keprihatinan dalam belajar di sekolah yang reyot, yang jauh dari rumah, dan
terpinggirkan oleh status sosial, patut menjadi contoh nyata merdeka belajar.
Ketika mendengar kata Laskar Pelangi,
akan mengingatkan kita akan perjuangan keras anak desa dalam mengenyam
pendidikan di salah satu ujung pelosok bumi
nusantara tercinta ini. Tepatnya di Belitong sana. Laskar Pelangi, sebuah novel
yang memang sudah belasan tahun lalu terbitnya, tepatnya tahun 2005. Namun
siapapun yang membacanya, seolah akan tersihir dan terbakar semangatnya. Laskar
Pelangi seolah mampu menginspirasi jutaan orang di belahan dunia ini. Berawal dari satu novel berkembang
menjadi 4, sehingga terwujudlah Tetralogi Laskar Pelangi. Mulai dari Novel
pertama yang berjudul Laskar Pelangi, disusul Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah
Karpov.
Andrea Hirata, sang penulis yang
merupakan salah satu siswa SD yang hampir roboh itu, menjadi pelaku utama di dalamnya.
Dengan daya magnetnya yang luar biasa,
dia mampu membawa pembaca menangis, tertawa, cemas, takut, bersemangat,
dan berbagai rasa yang ada. Si penulis buku ini, Asrori S.Karni, yang merupakan
seorang jurnalistik, menamakan hal itu sebagai fenomena Laskar Pelangi. Mengapa
Asrori menamakannya demikian, pasti sangat kuat alasannya. Adanya Tetralogi
Laskar Pelangi benar-benar menjadi fenomena bagi masyarakat dunia. Ya, sebuah
fenomena nyata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena mempunyai arti
sebagai berikut: 1). hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat
diterangkan serta dinilai secara ilmiah; 2). sesuatu yang luar biasa, keajaiban;
3). fakta, kenyataan. Laskar pelangi benar-benar menjadi fenomena, yaitu suatu
kondisi nyata yang dapat dibuktikan nyata oleh masyarakat dan menjadi sesuatu
yang sangat luar biasa pengaruhnya bagi dunia.
Banyak orang yang sudah sekian lama
mengabdikan diri pada profesi tertentu, setelah membaca Laskar Pelangi,
mendadak serasa mendapatkan energi baru dan terisi amunisi semangat juangnya.
Sejumlah pemuda yang selalu resah dan gelisah, tiba-tiba mendapatkan kekuatan
batin baru untuk bangkit dari mental cengengnya. Kalangan marginal yang
terpinggirkan oleh keadaan, seolah mendapatkan suntikan kepercayaan diri yang
lebih untuk bersemangat mengejar cita. Orang tua jadi punya cara menuturi
anak-anaknya. Pasangan muda jadi punya bahasa dalam mengungkapkan kata cinta.
Begitu pula dengan gubernur, bupati, wali kota, jadi punya inovasi baru untuk
memompa semangat warganya agar terus bersemangat dan tidak lesu.
Itulah beberapa contoh nyata,
kemerdekaan belajar Laskar Pelangi mampu menjadi fenomena di masyarakat. Novel
ini menjadi multi level marketing spirit
bagi siapapun. Maisaroh, seorang guru
honorer di SDN Pamijahan Cirebon, Jateng, rela menjual kebaya lebarannya demi
mendapatkan novel Laskar Pelangi. Tak heran jika setelah membacanya dan sampai
kini, dia selalu memotivasi murid-muridnya yang sebagian besar adalah anak
buruh penganyam rotan, agar tidak putus sekolah dan mau melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi. Laskar pelangi menembus lintas agama, suku, budaya, dan sosial
budaya. Di berbagai lapisan masyarakat, Laskar pelangi bisa diterima. Meledaknya
Laskar Pelangi dibuktikan dengan seringnya Andra Hirata diundang menjadi pembicara di
berbagai daerah dan televisi, serta media dan tempat lainnya. Bahkan mendadak
dia menjadi pembicara sastra dengan bayaran tertinggi. Lima puluh Juta
(Rp.50.000.000.-) Rupiah sebagai upah bersihnya berbicara di Sumbawa dalam
waktu hanya 90 menit saja. Belum lagi undangan di berbagai acara lain, termasuk
di kalangan non Muslim, pesantren, Negeri Jiran, dsb.
Dalam dunia pendidikan, lebih dari 10
kajian ilmiah membahas Laskar Pelangi. Bagi kalangan pemuda dan media, Laskar
Pelangi juga mampu mempengaruhinya. Seorang siswa di bandung tersadar untuk
meneruskan rehabilitasi atas ketergantungannya terhadap obat terlarang. Seorang
terpelajar dan jurnalistik di Jawa Timur juga sangat tersihir oleh lascar
Pelangi. Dia adalah Mega Hutagama, yang memberikan syarat “tanda tangan Andrea
Hirata dalam Novel Edensor sebagai Mahar dalam pernikahannya”. Tidak sampai di
situ saja, bahkan Mega memberi syarat tambahan, setelah tanda tangan itu
didapatkannya, maka sang calon suami harus mampu menghadirkan penulis Laskar Pelangi
sebagai saksi dalam pernikahan mereka. Begitu membiusnya Laskar Pelangi
terhadap seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah Propinsi Bangka Belitung pun
mengadopsi logo Laskar Pelangi sebagai identitas propinsi muda ini. Ucapan
“Selamat Datang di Bumi Laskar Pelangi” bertebaran di berbagai kawasan propinsi
muda itu.
Laskar Pelangi benar-benar menjadi sebuah fenomena baru. Buku itu mampu
terjual ribuan eksemplar setiap bulannya. Meski di awal penerimaan naskah oleh
Gangsar Sukrisno, sang pemimpin Bentang Pustaka, Penerbit buku di Yogyakarta,
dia sempat berniat membuang naskah alias menolaknya. Namun setelah hari ke
tiga, saat menjelang margib, Gangsar yang dalam keadaan lelah, mencoba membaca mulai halaman 1 sampai 5. Dia mulai
tertarik, bahkan dia bersama istrinya membacanya sampai larut malam. Pagi
harinya, sang istri pun sepakat kalau novel itu layak terbit. Ya, Laskar
pelangi yang dibuat hanya dalam waktu tiga pekan, dengan jumlah halaman 600
lembar, membuktikan kalau Andrea benar-benar orang pintar dalam berbagai hal.
Awalnya Andrea tidak yakin kalau novelnya akan laku keras di pasaran.
Kenyataannya demikian, seorang pegawai Telkom Bandung, lulusan SD Muhammadiyah
Gantong yang di pelosok, yang akhirnya mampu kuliah di UI dan Universitas
Sorbone Prancis melalui beasiswa, mampu menginspirasi berbagai lapisan masyarakat
dunia.
Buku yang berjudul Laskar Pelangi: The Phenomenon, bagaikan buku yang
berisikan “behind the scene” atau
peristiwa di belakang layar akan lahir dan beredarnya Novel serta film Laskar
Pelangi. Buku ini juga sebagai pembuktian bahwa Laskar Pelangi benar-benar
menjadi sebuah fenomena positif bagi kita semua. Ajakan agar jangan mudah putus
asa. Ajakan agar jangan mudah menyerah oleh keadaan. Ajakan agar tidak terjadi
lagi diskriminasi dalam dunia pendidikan. Ajakan agar pendidikan bisa dienyam
oleh siapapun, termasuk pendidikan inklusi oleh orang berkebutuhan khusus,
seperti dikisahkan oleh Bu Mus yang sabar dan mampu memompa semangat belajar
dan akhlak Harun (siswa dengan keterbelakangan mental), dll. Berbagai ajakan agar
guru lebih ikhlas dalam mendidik, begitu pula bagi murid untuk merdeka dalam
belajar. Pesan mendalam juga terekam dalam pikiran kita dari Film lascar
pelangi yaitu kejar cita-cita setinggi-tingginya. Meskipun hanya dimulai dari
mimpi, karena mimpi adalah kunci untuk kita meraih cita dan menaklukkan
segalanya. Buku ini layak dibaca oleh siapapun untuk mengejar ketertinggalan
dan memutus rantai kebodohan, kemalasan, dan kemiskinan.
*Penulis
adalah Kepala Perpustakaan UNISA Yogyakarta
0 Komentar