Ibadah puasa merupakan bentuk ibadah yang tersembunyi. Artinya
pelaksanaan ibadah yang satu ini tidak bisa diketahui orang lain. Hal ini berbeda dengan ibadah shalat, ibadah
haji, umrah, zakat, dan lainnya yang pelaksanaannya diketahui banyak orang.
Maka ada kemungkinan dalam pelaksanaan ibadah ini dicampuri hawa nafsu; pamer,
riya’, sum’ah, kepentingan jabatan,
dan lainnya. Sedangkan dalam ibadah puasa betul-betul suatu ibadah yang
menuntut pengendalian hawa nafsu dan berdimensi rohaniah yang tinggi.
Ibadah sembunyi ini dapat ditinjau dari berbagai dimensi, seperti pengendalian
hawa nafsu, kesehatan, sosial, ekonomi, dan segi niat/motivasi. Motivasi ibadah
akan memengaruhi kualitas ibadah itu sendiri dan pengaruh terhadap kepribadian
seseorang. Ibadah mahdhah (seperti
puasa) maupun amal shaleh yang dilaksanakan dengan ikhlas akan membentuk pribadi
yang betul-betul muttaqin dan akan
memberikan kedamaian dalam kehidupan ini.
Kata ikhlas berasal dari bahasa
Arab khalasha bentuk akar katanya
adalah khulushon atau khalashon yang berarti jernih dan bersih dari
pencemaran. Misalnya ada kata khalashus
saminu berarti samin yang murni. Kata khalasha
bisa juga diartikan dengan selesai, misalnya kata khalashtu berarti aku telah selesai (mengerjakan sesuatu). Maka
kata ikhlash menunjukkan pengertian
bersih, jernih, dan suci dari campuran dan pencemaran. Sesuatu yang murni itu
berarti bersih tanpa campuran, baik bersifat materi maupun non materi. Hal ini
berarti bahwa perbuatan ikhlas itu adalah perbuatan yang betul-betul mengharap
ridha Allah dan bersih dari berbagai kepentingan.Semua kegiatan itu bukan sekedar
kepuasan hawa nafsu, tetapi dilakukan semata-mata demi Allah. “Katakanlah, sesunguhnya shalatku, ibadahku,
hidup dan matiku hanya untuk Allah semata, yakni Tuhan Semesta Alam”.(Q.S. Al An’am: 162).
Kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Namun
demikian bukan berarti bahwa yang sulit itu tidak bisa dilaksanakan. Sebab
sering terjadi bahwa apa yang sulit bagi orang lain, maka belum tentu sulit
bagi kita. Sebaliknya, ada sesuatu yang sulit bagi kita, tetapi ternyata sangat
mudah bagi orang lain.
Jiwa yang ikhlas sebenarnya merupakan implementasi dari buah iman yang
kokoh. Adanya iman yang kokoh akan mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan
yang manfaat pada dirinya dan pada pihak lain. Perbuatan yang ikhlas merupakan
perbuatan yang digerakkan oleh hati sanubari yang bersih dan tidak dicampuri
oleh nafsu yang buruk (sayyiah).
Niat berbuat ikhlas ini memang
tersembunyi sebagaimana tersembunyi perbuatan buruk pada diri seseorang. Sebab
memang sebagian besar manusia itu suka menutupi kekurangan diri. Maka menutupi
atau tidak menampakkan amal baik inilah termasuk tanda-tanda ikhlas. Dalam hal
ini Yahya bin Mu’adz menyatakan bahwa ikhlas itu memisahkan amal saleh dengan
aib sebagaimana perbedaan susu dan darah (Ihya’ Ulumuddin jaz 4: 366).
Dengan demikian, maka pribadi yang ikhlas itu dapat diumpamakan orang
yang membersihkan beras dari kerikil-kerikil kecil. Beras yang telah
dibersihkan dari kerikil-kerikil itu apabila dimasak tentunya rasanya enak.
Demikian halnya dengan perbuatan ikhlas, tentunya akibat perbuatan itu akan
dirasakan enak oleh orang lain dan yang berbuat. Sebab apa yang diperbuat itu
dilakukan dengan lilo legowo.
Apabila ibadah puasa dilaksanakan dengan keihklasan, maka efek
kepribadian dan rewardnya sangat
tinggi. Sebab tinggi rendahnya reward
itu tergantung pada tinggi rendahnya niat/moltivasi. Dalam hal ini dapat
disimak apa yang tersirat dari sabda Nabi Muhammad saw yang artinya:” Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan
hanya mengharap pahala dari Allah (ikhlas),
maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni”. (Muttafaq ‘alaih; al Bukhari no. 38, dan Muslim, no. 760).
Ampunan dosa
merupakan nilai yang tak terhingga bagi seorang hamba yang penuh salah dan dosa
ini. Namun nilai yang tinggi itu tidak begitu mudah didapat, kalau tidak
didukung oleh niat/motivasi yang imanan
wahtisaban.(iman dan bersungguh-sungguh).
Kesungguhan ini akan timbul apabila didorong
oleh hati yang bersih, ikhlas dan jauh dari kepentingan duniawi. Hal ini lebih
jelas dan lebih tegas lagi dinyatakan dalam sabda Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :” Allah telah berfirman: Semua amal anak Adam (manusia) dapat
dicampuri kepentingan hawa nafsu, kecuali puasa.Maka puasa itu melulu untukKu
dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa itu bagaikan perisai, maka apabila
seseorang sedang berpuasa janganlah
berkata keji dan suka menimbulkan keributan. Apabila ada orang lain mencaci
makinya dan/atau mengajak
berkelahi/berselisih hendaknya
dikatakan kepadanya :”Aku sedang
berpuasa”. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, bau mulut orang yang puasa
bagi Allah lebih harum dari bau misik (kasturi). Bagi orang yang berpuasa akan
mendapatkan dua kegembiraan, yakni gembira ketika berbuka puasa dan kegembiraan
yang luar biasa ketika menghadap kepada
Tuhannya lantaran menerima pahala/reward puasanya”. (H.R. Bukhari
dan Muslim).
Tidak mudah memang untuk menegakkan keiklasan, sebab manusia itu pada
dasarnya adalah makhluk yang lemah. Syetan selalu mengintai manusia. Syetan
mengetahui gerak gerik manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui gerak gerik
syetan. Menyikapi kondisi seperti ini, Sofyan Ats Tsauri ulama terkena pernah menyatakan :”Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku,
karena begitu seringnya berubah-rubah.
Lasa Hs
0 Komentar