Kematian tidak hanya menimpa
pemilik harta, tetapi bisa juga menimpa pemilik ilmu pengetahuan. Ilmu yang
dimiliki seseorang kadang hanya untuk kepentingan sendiri. Sejak kecil, seseorang
menuntut ilmu sampai dewasa di dalam maupun di luar negeri. Bertahun ilmu didapat dan gelarpun diperoleh. Kemudian
ilmu itu digunakan untuk mencari kekayaan, mengejar jabatan fungsional atau
struktural. Ilmu itu dishare di berbagai seminar, penelitian, atau dalam
bentuk artikel jurnal internasional. Memang apabila dirupiahkan, nilai ilmu itu
cukup mahal. Sebab untuk mencarinya menghabiskan uang jutaan bahkan milyaran
rupiah. Ilmu mereka itu kadang harus diganti dengan pengejaran jabatan basah
untuk memeroleh kehormatan sebagai eksistensi diri.
Dengan ilmu itu pula,
mereka bisa mengajar kesana kemari. Mereka kadang pilih-pilih lembaga yang
basah. Mereka kadang tidak mau mengajar di lembaga pendidikan yang kering
lantaran merasa tidak dihargai. Penghargaan bagi mereka adalah sesuatu yang
dilihat mata, dan bukan sesuatu yang dilihat hati. Perilaku ilmuwan dan
intelektual seperti ini diperingatkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya :” Siapa yang memelajari ilmu pengetahuan untuk
meraih kebanggaan dan kemuliaan dunia, maka orang itu besok pada hari kiamat
tidak akan mendapat baunya surga”. (H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah r.a.).
Jaman selalu berubah dan umur
semakin berkurang. Suatu ketika nanti para ilmuwan itu tidak bisa lagi
mengkomersialkan ilmunya. Jabatan yang dikejar-kejar pun akhirnya juga lepas
dari tangan. Kekuasaanpun sirna bagaikan macan ompong. Saat-saat seperti inilah
yang kadang menghantui para ilmuwan yang takut untuk pensiun. Setelah pensiun
mau mengerjakan apa ?.
Ilmuwan yang meninggal dengan
meninggalkan rekaman ilmunya, maka ini berarti bahwa mereka hidup (pemikiran)
dalam kematian (jasad). Dengan demikian orang lain masih bisa berguru,
memelajari, bahkan mengembangkan pemikirannya. Hal ini tentunya berbeda dengan
ilmuwan yang tidak meninggalkan karya, jejak langkah yang monumental. Mungkin
nama mereka lama kelamaan hilang dari percaturan bidangnya bersamaan dengan
pisahnya roh dari jasad.
Mengenai pengabadian nama, ada yang
berpesan kepada keluarganya agar nama . gelar, dan keahliannya ditulis di batu
nisan apabila dia teah meninggal. Hal ini dimaksudkan agar orang yang
membacanya masih mengagumi kehebatannya dan menghormatinya.Ada pula yang berpesan
agar besok kalau sudah mati supaya dibuatkan patung besar sebagai potret
dirinya.
Agar manusia tidak mati dalam hidup
ini, kiranya perlu adanya produktivitas sesuai potesi masing-masing.
Produktivitas inilah nantinya yang akan
memberikan manfaat setelah seseorang meningga dunia. Betapa banyak orang yang
sudah meninggal dunia, tetapi mereka itu seolah-olah masih hidup di antara
kita. Pemikiran, teori, dan ajaran-ajaran mereka masih bisa kita pelajari
melalui rekaman dan tulisan yang mereka tinggalkan. Firman Allah swt dalam Al
Quran S. Al Baqarah: 154 :” Dan janganlah kamu mengatakan bahwa orang-orang
yang terbunuh di jalan Allah , mereka itu telah mati. Sebenarnya (mereka) itu
hidup (di aam lain yang bukan alam kita), tetapi kamu tidak menyadarinya”.
Umur merupakan masa hidup orang yang
bisa memiliki nilai positif atau negatif yang bertalian dengan tingkat
produktivitas seseorang. Oleh karena itulah, maka untuk memeroleh kualitas
produk, kita dituntut untuk bekerja keras (hard
work), bekerja efektif, dan bekerja cerdas (smart work). Konsep
bekerja keras ini kiranya dianjurkan oleh agama-agama besar dunia dan para
tokoh peradaban.
Habis
Lasa Hs.
0 Komentar