Di masa pandemi ini, penyelenggaraan shalat di masjid diharuskan memenuhi
protokol kesehatan yang ketat, di antaranya adalah mengatur jarak shaf. Hal itu
mengakibatkan daya tampung masjid berkurang. Timbul pertanyaan di masyarakat,
bolehkah mengerjakan shalat Jum’at di luar masjid atau di lokasi lain selain
masjid ?.
Pada prinsipnya shalat Jum’at idealnya dikerjakan di masjid. Namun
demikian, apabila ada keperluan yang mendesak, maka shalat Jum’at dapat
dilaksanakan tidak hanya di masjid, tetapi di lokasi lain, seperti di mushala,
langgar, tanah lapang, halaman, gedung pertemuan, rumah, ruangan kosong yang
telah dipersiapkan untuk tempat ibadah atau tempat-tempat luas lain yang layak.
Hal ini didasari oleh beberapa alasan, antara lain:
Pertama
Lafadz perintah shalat Jum’at yang bersifat umum tanpa mensyaratkan shalat
hanya di satu tempat. Hal ini disebutkan dalam Q.S. al-Jumu’ah: 9, yang artinya
:” Hari orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”.
Kedua
Pengertian dari kata ”masjid” yang
secara etimologi memiliki arti tempat sujud. Dengan demikian, kata ”masjid”
pada hakikatnya tidak terbatas pada masjid yang berupa bangunan khusus untuk
shalat semata, tetapi tempat manapun yang dapat dilakukan shalat (sujud) maka
dapat berfungsi sebagai masjid. Dalam sebuah hadis disebutkan yang artinya :”Dari Abi Sa’id al-Khudri (diriwayatkan) ia
berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda :”Bumi ini semuanya merupakan masjid
(tempat sujud untuk shalat) kecuali jamban (kamar kecil) dan kuburan” (HR.
Al-Hakim)
Ketiga
Perluasan makna atas lafadz ”masjid” di atas diperkuat oleh perbuatan
sahabat Mus’ab bin Umair tatkala menjadi utusan Rasulullah saw ke Madinah
setelah Bai’at al-’Aqabah. Dalam
keterangan yang dinukilkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitabnya Tabaqat al-Kubra disebutkan bahwa Mus’ab pernah mendirikan shalat
Jum’at berjamaa’ah di rumah Sa’ad bin Khaisamah.
Mus’ab
kemudian menuliskan surat kepada Rasulullah saw untuk meminta izin kepada
beliau agar bisa mengumpulkan kaum Anshar yang telah masuk Islam untuk
mendirikan shalat. Rasulullah pun mengizinkannya dan menuliskan perintah untuk
Mus’ab: cermatilah bagaimana persiapan kaum Yahudi untuk beribadah Sabat.
Tatkala matahari tergelincir (masuk waktu dhuhur) bersegeralah engkau
menunaikan shalat Jum’at menghadap Allah swt dan berkutbahlah. Maka Mus’ab
mengumpulkan para kaum Anshar di rumah Sa’ad bin Khaitsamah sebanyak dua belas
orang dan itulah shalat Jum’at pertama kali yang didirikan di Madinah (Ibn
Sa’ad, III: 110)
Keempat
Shalat Jum’at yang dilaksanakan di masjid dalam keadaan seperti sekarang
ini dapat menimbulkan kesulitan, karena dituntut adanya pengetatan protokol
kesehatan, antara lain pembatasan jumlah akibat dari perenggangan shaf. Sementara
itu, salah satu sifat agama Islam adalah selalu menghindarkan dari kesulitan dan kesempitan. Dalam Q.S.
al-Hajj: 78 disebutkan :”Dia Allah)
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Tercatat dalam sejarah bahwa memindahkan
lokasi shalat hakikatnya pernah diperbolehkan oleh Rasulullah saw kepada
sahabat bernama ’Itban yang meminta izin khusus kepada Nabi saw untuk menjadi imam di rumahnya. Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, yang artinya:” Dari ’Itban bin Malik al-Anshari, dia berkata, saya menjadi imam shalat
kaum saya, Bani Salim. Lalu saya temui Nabi saw, saya tanyakan kepada beliau,
saya tidak bisa terima penglihatan saya, sementara banjir menghalangi rumah
saya dengan masjid kaum saya, sungguh saya ingin sekali engkau datang ke rumah
saya, engkau tunaikan shalat di rumah saya di tempat yang akan saya jadikan
sebagai masjid. Nabi saw menjawab, insyaa Allah saya datang. Pagi menjelang
siang yang memanas, Nabi saw bersama Abu Bakar menemui saya. Nabi saw minta
izin masuk dan saya mengizinkan. Beliau tidak duduk sampai berkata, di mana
engkau ingin saya tunaikan shalat di rumahmu?. Kepada beliau saya tunjukkan
tempat yang saya ingin beliau shalat. Lalu Rasulullah saw berdiri untuk shalat.
Kami berbaris di bekakangnya. Beliau tutup shalat dengan salam. Kami pun
membaca salam (H.R. al-Bukhari)
Berdasarkan hadis di atas, dapat
diketahui bahwa alasan ’Itban meminta keringanan adalah karena adanya kesulitan
yaitu gangguan mata dan adanya hujan yang menyebabkan banjir. Sementara ancaman
pandemi Covid - 19 tidak lebih ringan
daripada alasan yang dikemukakan oleh ’Irban dan direstui oleh Rasuullah saw.
Dengan demikian, menambah lokasi
pelaksanaan shalat Jum’at di selain masjid seperti mushala, langgar, tanah
lapang, halaman, gedung pertemuan, rumah, ruang kosong yang telah dipersiapkan
untuk tempat ibadah atau tempat-tempat luas lain merupakan hal yang
diperbolehkan, dikarenakan adanya kemaslahatan (al-hajah) yang menuntutnya dan adanya masyaqqah melaksanakannya di tempat terpadu yang biasa dilakukan.
Ketika tingkat bahaya pandemi
Covid-19 ini telah dinyatakan mengalami penurunan di beberapa daerah oleh pihak
yang memiliki otoritas, maka kegiatan ibadah berjamaah pun dapat dilakukan
kembali meskipun dengan menerapkan serangkaian protokol kesehatan yang ketat
sebagai bentuk kehati-hatian dan tetap berupaya mencegah penyebaran wabah
Covid-19. Hal ini selaras dengan kaidah-kaidah fikih:
Adhdhoruratu tuqaddaru biqadariha
(Kemudharatan itu dibatasi dengan kadarnya (al-Asybah wa a l-Naza’ir oleh
al-Suyuthi: 84)
Idzaa dhaqa al-amru ittasa’a waidza ittasa’a dhaqa
(segala sesuatu, jika sempit maka
menjadi luas, dan jika (kembali) luas maka menjadi sempit (Muhammad az-Zubaili,
al-Qawa’id al-Fiqriyyah, 1: 272)
Al-amru idza tajawaza ’an haddihi in’akasa ila dhiddihi
(segala sesuatu
apabila melampaui batas, maka hukumnya berbalik pada sebaliknya (Al-Asybah wa
a-Naza’ir oleh al-Nu’mah: 72)
HABIS
Lasa Hs.
0 Komentar