Judul : Mozaik Keteladanan Buya Syafii Maarif
Penulis : Erik Tauvani Somae
Penerbit : Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2020
ISBN : 978-423-7992-42-5
Tebal :156 hlm.
Pii, itulah panggilan Buya Syafii Maaf di waktu kecil. Pii yang kelahiran Nagari Sumpur Kudus Sumatera Barat itu tidak/belum memiliki cita-cita, besok mau jadi apa atau akan jadi siapa. Hidupnya seolah mengikuti angin bertiup dan air yang mengalir. Beliau sama sekali tidak membayangkan kalau nanti akan menjadi publik figur yang didengar nasihatnya, ditunggu tulisannya, dan diteladani sikap dan perilakunya.
Kadang, orang memandang keberhasilan seseorang itu setelah menjadi orang. Sisi kehidupan yang penuh duka dan derita kiranya kurang mendapatkan perhatian. Kesulitan dan penderitaan kadang silih berganti yang mendera kehidupan calon tokoh itu tidak terungkap ke permukaan. Dalam salah satu catatan hidupnya, Buya pernah menuturkan bahwa suatu ketika di rumah tidak ada persediaan makanan sama sekali. Tiba-tiba beliau mendapat kiriman uang dari honorarium tulisan di majalah yang terbit di Solo. Uang itu cukup untuk membeli 4 kg beras saat itu. Empat kilogram beras saat itu sangat bermakna dalam kehidupannya.
Sebagai keluarga muda, saat itu beliau dan istri (Ibu Nurkhalifah) mengalami kondisi ekonomi yang tidak menentu. Maka saat itu Ibu Lip (Panggilan Ibu Nurkhalifah) dan Salman (putra pertama) pulang ke kampung halaman di Padang. Untuk sementara mereka berpisah dimana Ibu Lip dan putra pulang ke Padang, sementara itu Buya Syafii masih berjuang di Yogyakarta. Bapisah bukanan bacarai kata orang Minang Sesampai di Padang, Salman sakit-sakitan yang akhirnya dipanggil oleh Allah dalam usia 20 bulan. Kata Buya saat itu :”Perasaanku waktu itu sungguh remuk. Anak pertama wafat tidak di pangkuan ayahnya”(halaman: 130).
Buku yang ditulis Erik Tauvani ini berisi catatan-catatan ringan tentang nasehat, perilaku, dan pemikiran spontan Buya yang jarang bahkan tidak muncul di media cetak secara luas. Di buku ini Erik yang calon doktor ini mengisahkan kehidupan keseharian seorang guru bangsa. Erik sangat dekat dan sering mencatat pemikiran, pengalaman, dan perilaku keseharian Buya. Semoga mas Erik bisa berlaku seperti Abu Hurairah yang banyak mencatat sabda, tindakan, dan sikap Nabi Muhammad Saw sehingga menjadi hadis yang sampai kepada kita.
Buya memiliki perilaku keseharian yang patut menjadi pelajaran bagi kita . Beliau itu sangat mandiri, tidak mau merepotkan orang lain. Sampai-sampai beliau itu mencuci pakaiannya sendiri. Katanya :”badan itu jangan dimanjaka”n. Setua itu rajin melaksanakan shalat jama’ah di masjid meski harus diemani tongkat berkaki empat.Sedangkan sebagian kita shalat shubuhnya sering dijamak dengan shalat dhuha di waktu dhuha. Bila sering bangun jam tujuh dan suatu ketika bangun pukul 04.00 malah bilang :wah musibah”.
Setua itu, Buya rata-rata kuat membaca selama 13 jam per hari. Kita cukup puas membaca you tube. Beliau yang sudah sepuh itupun sampai kini masih produktif menulis. Sementara kita hanya puas menulis status. Mestinya kita yang muda ini malu kepada beliau dengan semangat untuk memberikan yang terbaik kepada kehidupan ini.
Bangsa ini merindukan guru bangsa yang sejuk nasehatnya, diitiru tindakan dan perilakunya. Kita memerlukan sosok keteladanan yang menunjukkan toleransi, kesederhanaan, tidak sarat kepentingan, konsisten antara ucapan dan tindakan, tinggi ilmu pengetahuan, luas wawasannya dan tidak gila jabatan.
Semoga Buya Syafii diberi umur panjang, sehat selalu,dijauhkan dari berbagai penyakit, dan memberikan pencerahan kepada masayarakat yang pluraris ini. Aamin.
Lasa Hs.
0 Komentar