ULAMA DAN
GERAKAN KAUM INTELEKTUAL SEBELUM KEMERDEKAAN
MENENGOK
SEPENGGAL PERJALANAN JIHAD KYAI IBRAHIM
Oleh
Muhamad Jubaidi
Sosok kyai
ibrahim adalah seorang ulama yang memiliki pembawaan sangat sederhana, hal ini tersurat ketika
beliau mendengar pesan wasiat yang disampaikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan
sebelum wafat, untuk supaya mau dan bersedia melanjutkan tongkat kepemimpinan
Muhammadiyah. kerendahan dan ketawaduan
sebagai ulama yang berilmu, hal itu tidaklah langsung diterima dan disanggupi
oleh Kyai Ibrahim untuk menanggung amanah tersebut, karena melihat begitu besar
desakan dari para sahabat dan juga amanat langsung dari Kyai Ahmad Dahlan untuk
kelangsungan eksistensi Muhammadiyah dan mimpi besar menjadi negara merdeka
terbebas dari belenggu penjajahan Belanda, akhirnya amanat tersebut diterimanya
untuk menahkodai Muhammadiyah setelah pereode pertama yang di ketuai langsung
oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Kyai Ibrahim
adalah putra dari K.H. Fadlil Rachmaningrat, dan
merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan, Kyai Ibrahim lahir di kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 7 Mei 1874, pada usia 49 tahun tepatnya pada bulan
maret 1923 dalam rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadiyah
Hindia Timur atau ketua perkumpulan Muhammadiyah pada waktu itu. Kyai ibrahim kecil belajar mengkaji ilmu
Al-Quran sejak usia 5 tahun, yang kemudian atas bimbingan kakak tertuanya yaitu
KH. M. Nur, beliau menunaikan Ibadah Haji di usia 17 tahun serta dilanjutkan
memperdalam ilmu agama Islam di mekah selama 7-8 tahun.
Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas
wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan ahli qira’ah (seni baca Al-Quran),
serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh
banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur’an dan
bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato
pembukaan (khutbah al-’arsy atau sekarang disebut khutbah
iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun
1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.(Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933) | Muhammadiyah 2020)
Kyai Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti
Abdulrahman alias Djojotaruno pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah
ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah.
Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil
dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah). Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2)
dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal
pada 9 September 1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu
Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam
dan gemar silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering
dikatakan sebagai ibu teladan.(Suara ’Aisyiyah 1999).
Sebagai
ulama yang dilahirkan di akhir abad-18 dan berkiprah diawal abad ke-19 tentu memiliki
dinamika yang sangat luar biasa, Lahir sebagai kaum intelektual terdidik
dikalangan keluarga yang berilmu merupakan sudut pandang ilmiah yang tidak bisa
dipisahkan ketika beliau besar menjadi seorang ulama yang berkemajuan di
zamanya.
Pergolakan
batin yang disertai akal budi keilmuan sebagai seorang yang alim, Kyai Ibrahim
dalam sudut pandang sebagai kaum intelektual pada zaman kolonial Belanda mampu
merumuskan beberapa agenda besar sebagai gerakan moral pemersatu bangsa, sebagaimana hal tersebut dalam analisis Max
Weber kaum intelektual dapat dimaknai sebagai seseorang yang memiliki kekhasan
mempunyai akses khusus terhadap pencapaian tertentu yang dianggap sebagai nilai
budaya, sehingga mampu mencerminkan “kepemimpinan”dari komunitas budaya.”(John L.
Esposito dan John O. Voll 2002).
Yang
dimaksud budaya dalam hal ini adalah representasi Muhammadiyah sebagai hasil
produk komunitas dari komunikasi orang-orang terpelajar, terorganisir, modern sebagai
gerakan moral kaum intelektual muslim diawal abad-19 dikawasan Asia Tenggara. Melalui Muhammadiyah Kyai Ibrahim, mampu
mempunyai peran ganda, disatu sisi menolak segala intervensi kolonial
penjajahan Belanda, disisi yang lain dapat menyatu sesuai
peran dan kedudukanya sebagai organisasi yang hidup bersanding dengan
bangsa penjajah, melalui berbagai macam inovasi Kyai Ibrahim mampu merefleksikan
pesan Kyai Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan Jangan Mencari Hidup
di Muhammadiyah”, hal tersebut dilaksanakan secara ikhlas semata-mata untuk
perjuangan Muhammadiyah sebagai organisasi modern yang mencerahkan serta
berdampak lebih luas sebagai tonggak kebangkitan kaum intelektual di Indonesia
waktu itu di tengah-tengah cengkeraman penjajahan kolonial Belanda. Adapun capaian yang mampu di torehkan oleh
Kyai Ibrahim diantaranya:
1.
Pada Tahun 1924 mampu
mendirikan Fonds Dachlan (atau donatur biasiswa bagi anak-anak miskin yang
ingin melanjutkan sekolah baik di sekolah Muhammadiyah maupun sekolahan milik
Belanda yang ada di Indonesia)
2.
Pada Tahun 1925 mengadakan
khitanan massal, dan juga perbaikan perkawinan untuk menjodohkan putera-puteri
keluarga Muhammadiyah sebagai penguatan dakwah kultural dilingkungan
Muhammadiyah.
3.
Di masa kepemimpinan Kyai
Ibrahim, telah melaksanakan sebanyak sepuluh kali rapat tahunan Muhammadiyah,
yang terus menerus memilihnya sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah. dan pada
tahun 1926, istilah rapat tahunan Muhamadiyah diganti menjadi kongres
Muhammadiyah, bertempat di Surabaya sebagai kongres Muhammadiyah ke-5.
4.
Pada tahun 1928
Muhammadiyah mampu mengirimkan anak panah Muhammadiyah sebagai Mubaligh Hijrah
ke seluruh penjuru tanah air dari putera-puteri alumni sekolah kader
Muhammadiyah Muallimin, Mu’allimat, Tabligh School dan Normaal School.
5.
Pada tahun 1929 bertepatan
dalam kongres Muhammadiyah di Solo, Kyai Ibrahim mampu mendirikan badan usaha
penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah (Uigeefster
My), yang bernaung dibawah majlis Taman Pustaka.
6.
Pada Tahun 1929 terjadi
penurunan atau meniadakan gambar Kyai Ahmad Dahlan di lingkungan Muhammadiyah,
karena terjadi gejala pengkultusan.
7.
Pada Tahun 1932 dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makasar, Muhammadiyah menerbitkan surat kabar
yang pertama (dagblaad), kemudian diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang
Solo, yang kemudian dinamakan surat kabar Adil.
8.
Kyai Ibrahim selalu
terpilih dalam sepuluh kali kongres Muhammadiyah selama pereode
kepemimpinanya. Dalam capaianya Kyai
Ibrahim mampu merangkul angkatan Muda Muhammadiyah waktu itu, dengan meningkatkan
kualitas takmirul masjid, serta berhasil dalam mendirikan Koperasi Adz-Dzakirat, juga perkembangan
‘Aisyiyah sebagai gerakan pelopor gerakan dakwah perempuan Muslim pertama yang
terorganisir, tertip dan kuat.
9.
Dalam bidang pendayagunaan
ekonomi kerakyatan dan pemerataan pendidikan untuk kaum pribumi, Kyai Ibrahim
bergabung dengan Politieke Economische
Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang
dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerja sama
antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan
juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi
pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama
dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik
gula. Meskipun dari sebagian orang menganggap Muhammadiyah yang telah
bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda waktu itu menyebutnya sebagai
antek Belanda, Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam
kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang
Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar
Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak benar. Kepiawaian
Kyai Ibrahim dalam memainkan irama Muhammadiyah waktu itu memang jauh melampau
batas pemikiran masyarakat kita pada umumnya sehingga peran strategis yang
dilaksanakan Muhammadiyah dianggapnya sebagai bentuk penghianatan kepada bangsa
sendiri untuk mencapai tujuan bersama yaitu kemerdekaan. (AR Fachruddin 1991).
Banyak
hikmah yang dapat diambil dari sepenggal kisah perjalanan dakwah Kyai Ibrahim
sebagai seorang ulama sekaligus ketua organisasi keagamaan Muhammadiyah, Gerak
melintas zaman, kreatif, inovatif dengan
berbagai macam terobosan yang mampu beliau torehkan sebelum kemerdekaan
memiliki makna tersendiri bagi kami anak-anak muda Muhammadiyah sebagai
tamparan keras untuk dapat melihat lebih jauh dan memaknai nilai ke ikhlasan di
setiap jalan perjuangan dakwah Muhammadiyah itu sendiri.
Kyai
Ibrahim mampu menginspirasi, membuka pandangan tabu akan pola kekerabatan
masyarakat feodal dengan berbagai macam tipologi budaya sehingga terselip
peluang dalam berdakwah dan membangun komunikasi antar golongan sebagai awal
mula gerakan kebangkitan masyarakat indonesia untuk mencapai tujuan bersama
yaitu mewujudkan negara yang berdaulat merdeka dari penjajahan.
Menurut,
(Edward Shils 1976), beliau berpandangan,
“kerja intelektual
bersumber dari keasyikan religius, melalui pengalaman tertinggi atau paling
tidak terkandung dalam pengalaman nyata saat ini, karya intelektual cenderung
berpikir dengan simbol-simbol keagaamaan, tradisi penghormatan, perjuangan yang
sungguh-sungguh untuk berhubungan dengan yang suci mungkin adalah tradisi kaum
intelektual yang paling awal, paling luas dan yang paling penting”.
Penulis
sepakat dengan pendapat diatas, bahwasanya untuk mencapai pada tingkatan kerja
intelektual, tidak cukup hanya bermodal dengan pendidikan dan kecakapan dalam
memainkan peran, namun harus di penuhi nilai riligiulitas yang kuat sebagai
pijakan dalam menjalankan tekat maupun usaha, sebagaimana peran tersebut di
awal abad ke-19 Kyai Ibrahim telah mencontohkan beliau secara titah dilahirkan
sebagai intelektual muslim pada eranya untuk mampu berbuat sesuatu demi
keberlangsungan kehidupan yang lebih bermartabat melalui ilmu dan iman.
Daftar
pustaka
AR
Fachruddin. 1991. Catatan AR Fachruddin.
Edward Shils. 1976. The intellectualls and the powers “in
rieff, on intellectuals.” Sage.
John L. Esposito, dan John O. Voll. 2002. Tokoh kunci
gerakan Islam Kontemporer. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
“Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933) | Muhammadiyah.”
2020. Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933) | Muhammadiyah.
http://m.muhammadiyah.or.id/id/content-157-det-kyai-haji-ibrahim.html
(September 6, 2020).
Suara ’Aisyiyah. 1999. “Ibu Teladan.” : 1.
0 Komentar