Seorang pengurus yayasan bertanya: “Berapa gaji pengurus
Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?”
“Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yang digaji”
jawab saya.
“Apa benar? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka?”
”Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak
menganggur”.
” Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas
pekerjaan?”
” Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru
Muhammadiyah.”
”Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan
Muhammadiyah”.
”Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu
lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi
Muhammaidyah sebagai profesi. Semua berniat sebagai pengabdian. Yang penting
dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.
Saya teringat Alm. Pak Lukman Harun. Beliau pernah punya
gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muhammadiyah supaya waktu dan perhatiannya
bisa penuh ke persyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat yang
baik, tapi ketua PP mau digaji berapa? Ketua ranting berapa? Apalagi kalau
dihitung masa kerja, semua pimpinan rata-rata sudah aktif sejak masa muda. Lalu
siapa yang mau membayar gaji itu?” kata Pak AR tersenyum.
Karena begitu banyaknya amal usaha yang dimiliki
muhammadiyah, membuat banyak peneliti luar berfokus dan menulis tentang
muhammadiyah, Salah satunya kita kenal dengan Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dan
James L. Peacock. Mitsuo nakamura peneliti jepang yang selalu hadir tiap
muktamar muhammadiyah itu suatu ketika penasaran dan berkunjung ke kantor
pimpinan pusat muhammadiyah jakarta tutur Prof. Dr. Munir Mulkhan, S.U. Ditemui
Prof. Syafi’i Ma’arif, Ph.D. ia terheran-heran karena muhammadiyah yang ia tahu
besar dan kaya, kok kantor presidennya kecil dan sederhana. Lalu ia bertanya
“berapa gaji ketua / presiden muhammadiyah ? Syafi’i Ma’arif tersenyum dan
menjawab “saya tidak digaji”. Nakamura sontak berkata “gila….”.
Pengurus tidak digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan
kelemahan.
Seorang dosen perguruan swasta bukan orang Muhammadiyah
bertanya ”Apakah benar semua amal usaha menjadi milik pimpinan pusat?” ”Benar!”
jawab saya.
”Berapa bantuan dari pusat sampai bisa menguasai semua aset
itu?”
”Sama sekali tidak membantu. Hanya meresmikan, itupun kalau
ada waktu. Pimpinan Pusat tidak menguasai, walaupun secara hukum semua atas
nama pusat”.
”Tidak menguasai tapi memiliki, itu sama saja. Kalau tidak
dibantu, lalu dari mana sumber dana membangun amal usaha yang demikian banyak?”
”Dari anggota dan simpatisan. Anggota ranting di desa
misalnya, mereka urunan membangun madrasah, SD, mesjid dan sebagainya. Demikian
juga aset lain seperti rumah sakit sampai universitas. Mereka paham kalau
diberi nama Muhammadiyah itu artinya diberikan kepada Muhammadiyah”.
”Rela ya, apa kuncinya kerelaan memberi itu?”
Saya katakan bahwa Muhammadiyah itu organisasi kerja, bukan
organisasi papan nama. Sebuah ranting berdiri bukan karena banyaknya orang
tetapi karena ada kegiatan. Syarat berdirinya sebuah ranting harus punya amal
usaha misalnya punya sekolah, atau mesjid atau punya aktivitas seperti
pengajian.
Berikutnya, Orang Muhammadiyah itu melakukan kegiatan karena
dorongan iman, dorongan keyakinan, bukan karena mencari untung. Karena itu
sering dalam kegiatan mereka bukan saja tidak dapat honor, malah sering
mengeluarkan uang dari kantongnya. Lain dengan kepanitiaan di instansi. Asal
namanya tercantum berhak dapat honor walaupun tidak bekerja. Karena itu sering
rebutan agar namanya bisa dicantumkan dalam panitia kegiatan.
Muhammadiyah tidak demikian. Mereka bekerja karena didorong
iman bukan keuntungan, itulah juga kekuatan dalam Muhammadiyah.
Bahkan tidak sedikit guru yang mengajar di sekolah-sekolah
muhammadiyah gajinya tidak diambil, namun diserahkan kembali pada muhammadiyah
untuk kepentingan gerak dakwah muhammadiyah. Ada juga sekolah-sekolah
muhammadiyah yg mungkin belum maju, belum mentereng… guru yg jiwanya tercelup
sibghoh muhammadiyah sering tidak menerima gaji, atau mendapat gaji rapelan (3
atau 5 bulan sekali meskipun nominalnya tidak banyak). Jika saat menerima wajah
mereka amat ceria meski sedikit. Jika pas tidak ada mereka tidak gajian
wajahnya tetap ceria dan semangat kerjanya konstan. Mengapa ? Mereka tersenyum
dan menjawab “alhamdulilah waktunya puasa” hal yang sangat lumrah dan biasa.
Dr. Sa’ad Ibrahim, M.A. (ketua umum PWM JATIM) pernah
meneteskan air mata saat menceritakan salah satu kepala sekolah muhammadiyah
yang digaji Rp. 300 ribu / bulan dan selalu datang paling awal dan pulang
paling akhir, di hadapan peserta RAKERPIM muhammadiyah se-JATIM yang
ditempatkan di gedung Ahmad Zainuri UM Jember.
Pertanyaannya… hari ini masih adakah guru atau dosen yang
bekerja di amal usaha muhammadiyah yang seperti itu ?
Lantas bagaimana kehidupan mereka ? Cukupkah untuk nafkah
dan kebutuhan sehari-hari ? Dari muhammadiyah boleh jadi ia hanya mendapat
nominal sedikit, tapi dari usaha lain atau pekerjaan lain yg mereka tekuni
justru rizkinya tak terhitung banyaknya. Mungkin itulah berkah yang melimpah
dari mengurusi muhammadiyah. “Siapa yg menolong agama Allah, maka Allah yang
menolong dan mencukupkan semua mereka”. Bahkan Prof. Dr. Thobroni menyatakan
“orang-orang yang istiqomah mengurusi muhammadiyah secara materi kehidupannya
lebih berkelimpahan dari pada yg hanya sekedar mengejar duniawi. Mereka
rata-rata di masyarakat secara ekonomi masuk kategori kelas menengah ke atas”.
Kekuatan berikutnya, orang Muhammadiyah itu relatif terdidik
dan rasional. Jadi mudah faham dengan aturan.
”Orang rasional yang irrasional”, katanya sambil tertawa,
karena bersusah payah membuat sekolah dan rumah sakit, lalu diberikan sukarela
ke pusat tanpa kompensasi.
Seorang walikota yang bukan orang Muhammadiyah tertarik
dengan istilah ”amal usaha” yang digunakan dalam lembaga Muhammadiyah. ”Ini
mengandung makna yang mulia” katanya. Menurut walikota, orang bekerja di rumah
sakit, sekolah dan di semua amal usaha Muhammadiyah harus dimulai dengan
nawaitu amal, baru usaha atau nawaitu cari nafkah. Jangan dibalik, yang
menonjol cari nafkahnya atau usaha, nanti bisa lupa amalnya. Karena itu
dinamakan amal usaha. Artinya, niat beramal di depan, baru usaha cari nafkah”,
katanya.
Kita tidak tahu apakah para karyawan di amal usaha
Muhammadiyah sudah menghayati dengan baik makna amal usaha seperti yang
diuraikan walikota itu. Atau bersemangat sebaliknya. Bekerja murni mencari
nafkah tanpa ada semangat mengabdi.
Setelah Muhammadiyah berkembang besar, setelah jumlah amal
usaha terus bertambah, boleh jadi nawaitu orang masuk Muhammadiyah
bermacam-macam. Ada yang ingin mengabdi untuk agama tetapi ada pula untuk
kepentingan lain. Selama pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha tetap
istiqamah pada tujuan memberi sesuatu, bukan meminta sesuatu kepada
Muhammadiyah, kita percaya daya saring pada orang-orang yang masuk Muhammadiyah
tetap akan berjalan baik.
Namun berikut ini mungkin kejadian kecil yang penting untuk
direnungkan.
Seorang pengurus Aisyiyah bercerita, suatu hari ibu penjual
nasi goreng dekat sebuah pasar tradisional agak tergopoh-gopoh mendatanginya.
”Apakah betul Bu Haji orang Muhammadiyah?” tanya penjual nasi goreng itu.
”Betul! kenapa?”
”Tidak ada apa-apa, Ooh, ternyata orang Muhammadiyah ada
juga yang baik, ya”, kata penjual itu dengan suara rendah seperti kepada
dirinya sendiri.
Ibu Aisyiyah tertegun dan merasa nelongso mendengar ucapan
kawannya itu. Kalimat ”ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik”
terngiang terus.
Kasus kedua dialami oleh kami sendiri (penyadur dan penulis
ulang tulisan ini ) : setiap sedekah maupun zakat kami kita alokasikan ke
tetangga sekitar dalam bentuk sembako maupun uang secara rutin. Ada tetangga
yang bercerita “sebelumnya tidak ada yang menebar pemberian, baru kali ini ada
bagi-bagi dari orang muhammadiyah”. Sementara tetangga satunya isterinya
bercerita ke isteri penulis ” suami saya bilang, semua tetangga kita tidak
pernah peduli dg kita, bahkan seringkali kita tidak masak juga tidak ada yang
tahu. Saat ada orang muhammadiyah yg pindah dan bertetangga dengan kita, kita
jadi sering dibantu dan diberi. Ternyata orang muhammadiyah itu lebih baik ya
bu. Sang istri yang sudah rutin “ngaji” di tempat kami menjawab “kok baru sadar
panjenengan mas”.
Sementara isteri lain bercerita sambil menangis jika disuruh
berhenti ngaji di tempat kami karena ada “omongan” bahwa kami muhammadiyah,
bahkan diancam dicerai jika tetap “ngaji”. Akhirnya berhenti, namun justru
anaknya datang sendiri belajar di tempat kami dan mulai menyadarkan bapaknya.
Suatu ketika keluarga tersebut, terlilit hutang… sang isteri yang pernah
“ngaji” datang menceritakan dan menyatakan maksudnya. Kami beri pinjaman untuk
melunasi hutangnya yang jatuh tempo dan diceritakan pada suaminya bahwa yang
menghutangi tetangga muhammadiyah nya tempat ia “ngaji”. Ia terdiam dan
tertegun.
Kisah ke-3, Prof. Dr. Thobroni bercerita saat workshop dosen
AIK di kantor PDM Jember… “di suatu tempat ada makam yg terkenal dengan ki
ageng gribik (asalnya bernama syeh akbar al-maghribi), namun masyarakat
menyebut dan mengenalnya dengan ki ageng gribik. Banyak orang yang menziarahi
makamnya. Saat berkesempatan memberi materi di daerah tersebut, saya mengunjungi
makam tersebut dan melihat-lihat dan berdialog dg juru kuncinya. Juru kunci
bercerita “sebenarnya ada makam yang tidak kalah keramat dan hebatnya, karena
saya tahu persis kebaikan-kebaikan penghuni makam tersebut selama hidupnya”.
Saya penasaran ” yang mana?” Ia menunjukkan makam sebelah ki ageng gribik yang
sepi, tidak ada yang menziarahi. Saya heran dan bertanya “kok tidak ada yang
berziarah ke makam itu ?” Juru kunci menjawab “karena dulunya orang itu
muhammadiyah”
Apa orang Muhammdiyah itu demikian buruk sehingga dianggap
aneh kalau berbuat baik?
Ibu Aisyiah itu memang sering menolong penjual nasi goreng
itu, meminjami uang (tanpa bunga), memberi nasehat, mencari solusi masalah
keluarga, menjadi tempat curhat dan konsultasi gratis. Aneh, Bu Haji ternyata
orang Muhammadiyah.
Muhammadiyah memang sudah berusia satu abad. Tetapi ternyata
masih banyak masyarakat mengenal Muhammadiyah baru sebatas kulitnya. Belum
dalamnya. Pengurus yayasan yang bertanya berapa gaji pimpinan Muhammadiyah, dia
belum kenal Muhammadiyah dengan baik. Juga dosen perguruan swasta itu. Apalagi
penjual nasi goreng itu.
Sudah banyak yang kita lakukan, tetapi ternyata lebih banyak
lagi yang belum sempat kita kerjakan. Memasuki usia abad ke dua, kita harus
membuktikan bahwa Muhammadiyah kebalikan dari sangkaan penjual nasi goreng itu.
Jika orang mengatakan ”dia orang Muhammadiyah”, maka dalam kata itu harus
terkandung jaminan sebagai orang baik, amanah, jujur, menepati janji, keja
keras, pecinta damai, tidak mbulet dan tidak aji mumpung.
Ternyata banyak orang yang belum kenal betul pada
Muhamamdiyah.
(Sumber Anonim Viral di WAG)
Dikutip dari tulisan Pak Nurcholis Huda (Waket PWM Jatim),
ada di buku Anekdot Tokoh-tokoh Muhammadiyah, terbitan Hikmah Press
0 Komentar