Bagi pecinta wayang (ringgit) purwo, istilah ini tidak asing.
Kata-kata ini pasti muncul pada adegan sebelum perang antara raksasana (Buto
Cakil, Gendirpenjalin) sebagai lambang kejahatan dengan kesatria sebagai
lambang kabajikan dan kebenaran. Kalimat itu mengandung makna filosofi yang
dalam bagi yang mau memahaminya. Namun tidak sedikit yang mencomoohnya lantaran
ketidaktahuan. Yang penting komentar dulu. Selagi masih berkesempatan komentar.
Sebagaimana dipahami
bahwa hidup ini terdiri dari jasad dan ruh. Ruh sebenarnya merupakan hakikat
manusia itu sendiri. Artinya kalau ruhnya rusak/jahat maka rusak/jahat pula
hakikat kemanusiaannya. Dalam syair Arab dikatakan faanta binnafsi la biljismi insanun (engkau itu diakui eksistensi
sebagai manusia lantaran ruh/jiwa dan bukan lantaran jasmani). Dengan ruh dan
jiwa yang berpikir (nafs nathiqah), manusia
mengetahui segala sesuatu. Ruh ini dulu berasal dari alam arwah yang
keberadaannya merupakan rahasia Ilahi. Sedangkan jasad manusia diciptakan dari
unsur materi (maddah) yakni unsur
api, tanah, air, dan udara. Dalam hal ini Allah Swt menyatakan yang artinya
:”Katakan bahwa ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan kau hanya diberi
pengetahuan samgat sedikit”(Q.S. Al Isra’: 85).
Ruh menurut para ahli
tasauf dan filosof Islam merupakan sumber kehidupan dan sumber akhlak mulia. Ia
adalah sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari genggaman hawa nafsu.
Kemudian alam ruh adalah alam yang berada di luar ruang dan waktu empiris yang
kita kenal dan jalani selama ini (Hidayat, 2006; 990. Ruh ini memiliki nilai
keabadian/tidak mati. Sedangkan jasad manusia terbuat dari materi yang cepat
atau lambat akan memiliki keterbatasan beraktivitas alias akan rusak. Artinya
pada saatnya nanti kegiatan jasad ini akan terhenti dan itulah yang disebut
kematian.
Ruh manusia akan
memiliki nilai keabadian tergantung sejauh mana aktivitas ruh itu melekat pada
jasad seorang manusia. Kalau jejak manusia yang ditinggalkannya itu memiliki
manfaat yang lebih luas dan abadi, maka itulah makna keabadian yang
sesunggguhnya. Dan inilah yang dimaksud dengan ojo mati tanpo aran (jangan meninggal tanpa meninggalkan nama
(jasa, amal saleh, ilmu yang manfaat, nilai kejuangan dll). Maka orang-orang
yang memiliki jasa besar dalam bidang tertentu, namanya diabadikan menjadi nama
jalan atau perguruan tinggi (Jl. Jendral Soedirman, Universitas Jendral
Soedirman), nama bandara (Soekarno-Hatta), nama rumah sakit (Rumah sakit Prof.
Dr. Sardjito), atau nama masjid (Masjid K.H.Dahlan, masjid A.R, Fachruddin) dan
lainnya.
Lasa Hs.
0 Komentar