Menteri Keuangan Yang Tak Punya Uang
Adalah
Menteri Keuangan kelima Sjafruddin Prawiranegara, yang hidup miskin. Ketika
anak ketiganya lahir, Khalid, Syafruddin
tidak mampu membelikan popok untuknya. Isterinya Teuku Halimah, terpaksa
menyobek kain kasur demi membungkus tubuh Khalid.
Dalam
keadaan seperti itu, bisa saja Syafruddin dengan mudah mamakai uang Negara.
Namun dia tidak mau melakukannya.
“Ayahmu Menteri Keuangan yang mengurusi uang Negara, tetapi tidak punya uang
unuk membeli gurita bagi adikmu, Khalid yang baru lahir. Ayahmu sama sekali
tidak tergoda memakai uang Negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain
gurita”.ujar Lily (pangilan Teuku Halimah), istri Syafruddin menjawab
pertanyaan Aisyah, putri pertama, seperti tertulis dalam buku Presiden Prawironegara karangan Akmal Nasery Basral.
Aisyah
bertanya kepada ibunya mengapa ayahnya tidak meminta bantuan saja kepada
pemerintah. Kata Lily, sang ayah tetap menolak menggunakan kedekatan itu untuk
kepentingan pribadinya. Dia justru mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tida
tergantung kepada orang lain dan jangan
sampai meminta-meminta (jabatan misalnya).
Padahal andai saja sang menteri meminta bantuan kepada
pemerintah, kemungkinan besar akan diberikan. Sebab Sjfaruddin merupakan orang
kepercayaan Presiden Soekarno. Bahkan oleh Soekarno dan Hatta, Sjafruddin
diperintahkan untuk memimpin Pemerintahan Darurat pada tahun 1948.
Pada saat menjalankan pemerintahan sementara di Sumatera,
Lily turut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan sukun untuk memberi
makan anak-anaknya. Begitu pula saat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Mereka
hidup berpindah-pindah sehingga Soekiman (Ketua Partai Masyumi saat itu)
memberikan tumpangan di Pakualaman Yogyakarta.
Di Jakarta juga demikian. Sjafruddin dan keluarga hidup
berpindah-pindah mengontrak rumah. Demi menyambung hidup, dirinya kerap
berjualan yakni koper berisi pakaian ala kadarnya.
Usai
pemerintahan berganti dibawah Presiden Soeharto, Syafruddin lebih banyak
mengisi waktunya dengan berdakwah. Saat tidak lagi menjadi pejabat Negara, ia
mengembalikan rumah dinasnya di kawasan Menteng kepada Negara. Menurutnya,
rumah dinas itu dibeli dari pajak rakyat, segala fasilitas negera dibayar dari
pajak rakyat, padahal rakyat masih banyak yang hidup melarat”.
(sumber Integrito, Vol.44, VII Mar-April 2015: 18)
0 Komentar