Telah banyak buku tentang teori menulis yang dibaca. Puluhan kali telah
mengikuti seminar, diklat, maupun workshop tentang penulisan. Sekian sertifikat
penulisan dipajang di ruang tamu. Dengan kegiatan tersebut seolah-olah
menunjukkan bahwa dirinya seorang penulis, meskipun tak secuwilpun tulisan
ilmiah muncul di media cetak maupun media elektronik terseleksi.
Menulis memang perlu teori, namun kadang justru terjebak oleh teori.
Terlalu banyak teori yang dibaca dan bila tak berani menulis kiranya teori itu
hanya angan-angan saja. Satu langkah bukti nyata (tulisan) lebih baik dari seribu
teori yang tidak diaplikasikan
Ketakutan akan membelenggu orang untuk maju. Orang berani sudah
sampai kemana-mana.Penakut menjadi patung menangisi ketakutan itu sendiri.
Akhirnya sampai purna tugas bahkan sampai mati tidak menulis. .
Menulis butuh keberanian, ketekunan, dan kenekadan. Tanpa berani
mencoba dan mencoba, menulis hanya mimpi belaka. Maka untuk bisa menulis
adalah berani menulis. Takut menulis berarti gagal menjadi penulis.
Mengalahkan ketakutan
Ketakutan menulis tidak saja menimpa masyarakat umum. Mereka yang
mengklaim dirinya sebagai ilmuwan, pendidik, dan profesionalpun kejangkitan
penyakit ini. Para guru hanya pasrah pensiun pada golongan IV/a. Sebab untuk
naik ke golongan IV/b dibutuhkan karya tulis ilmiah. Para doktorpun puas untuk
purna tugas di usia 65 tahun. Sebab untuk menggapai guru besar/profesor
dibutuhkan karya tulis ilmiah dan dimuat oleh jurnal internasional bereputasi atau
menulis buku. Sedangkan guru besar bisa pension di usia 70 tahun. Para
pustakawan (ASN dan beberapa PTS) bisa mencapai pustaawan utama dengan
pensiun umur 65 tahun bila mampu menghasilkan karya ilmiah. Semestinya
seperti inilah yang dikatakan profesional. Bukan sekedar pustakawan karbitan..
Mereka berani menulis
Kegiatan menulis bukan monopoli ilmuwan, pengamat, maupun politikus.
Dunia ini terbuka kepada siapapun. Apapun pekerjaan dan profesi seseorang
memiliki peluang yang sama untuk menulis.
Penjual mie ayam menulis
Suharso yang memiliki nama pena Aveus Har adalah penjual mie ayam.
Pekerjaan ini kadang dianggap remeh oleh sementara orang. Tetapi pekerjaan ini
mulia, karena mencari hasil dari keringat sendiri dengan cara halal. Mereka lebih
mulia dari pejabat tinggi yang korupsi, manipulasi yang merugikan negara.
Pria asli Pekalongan ini telah melahirkan beberapa novel. Karya fiksinya
yang prnah terbit antara lain; Warna Merah Pada Hati, Pangeran Langit, Sorry I
Love You, Roller Coaster Cinta , dan lainnya.
2
Mereka tidak mau diremehkan. Mereka ingin berbagi dan menunjukkan
eksistensinya. Ternyata penjual mie ayampun mampu menulis.
Gelandangan itupun menulis
Jean Marie Roughol semula adalah gelandangan dan nasibnya berubah.
Jean mengalami kehidupan sebagai pengemis di Paris selama 30 tahun. Dia
menggelandang dari lokasi ke lokasi yang sering kena penertiban. Beliau ingin
eksis seperti orang lain meskipun sebagai pekerja yang sering dianggap remeh itu.
Buku berisi pengalaman selama menjadi pengemis berjudul Je tape la manchr:
une vie dans la rue (Hidup Saya Sebagai Pengemis Kehidupan di Jalanan). Buku
yang sempat menjadi buku best seller ini menceritakan masa kanak-kanak hingga
akhirnya menjadi pengemis di jalanan Paris. Konon buku ini terjual lebih dari 50
ribu eksemplar.
Hopley (mengalami kelumpuhan otak besar) yang menulis puisi
Richard Hopley seorang yang menderita penyakit cerebral palsy atau
kelumpuhan otak besar. Penyakit inilah yang antara lain yang menyulitkan dirinya
untuk menggerakkan tubuhnya, sulit berbicara, dan sulit berkomunikasi. Namun
motivasi yang tinggi yang mendorongnya untuk menjalani “hidup” dalam arti
sebenarnya, Ia berusaha menulis puisi meskipun dengan menggunakan hidungnya
dan bantuan iPad. Hopley juga mengaku bahwa saat menulis puisi, dia tidak
membutuhkan sebuah outline. Ide itu secara otomatis muncul lalu langsung
menuliskannya dalam bentuk puisi
Pedagang beras juga menulis
Kiranya dapat dipahami bahwa betapa sibuknya kegiatan seorang
pedagang beras. Namun bukan alasan sibuk lalu orang tidak menulis. Bahkan
sebagan besar kita menyatakan tidak menulis karena sibuk.Padahal hanya main
HP.
Agus Sulaiman, laki-laki kelahiran Pati Jawa Tengah ini tidak sempat
mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Selepas lulus SMA, lalu beliau
berusaha berdagang beras. Dalam menjalankan bisnisnya, ia mengalami pasang
surut dan pernah mengalami pailit. Lalu belajar dari pengalaman, usaha ini
bangkit dan lebih maju lagi.
Terinspirasi karya Robert T. Kyosi yang berjudul Ayah Kaya Ayah Miskin,
Agus Sulaiman menulis buku 7 (Tujuh) Wasiat Dahsyat). Dalam buku ini, beliau
berkisah tentang jatuh bangun berwirausaha. Dalam uraiannya beliau
menyebutkan bahwa kesuksesan berbisnis itu dipengaruhi oleh 7 (tujuh) unsur
yakni; kekuatan, pikiran, karakter, ilmu pengetahuan, hubungan/relasi, bertindak
emosional, dan bersandar/tawakal kepada Tuhan.
Sedertan nama-nama tersebut tidak memiliki gelar akademik dan bukan
profesional beken. Namun berkat keberanian dan motivasi untuk eksis, toh
mereka berhasil menuliskan pengalaman, kepahitan hidup, dan ingin berbagi.
Berbagi merupakan perbuatan mulia. Sebab, tangan di atas lebih baik dari tangan
di bawah.
Lasa Hs.
0 Komentar