Ikhlas secara bahasa berarti bersih, murni dan
menjaga sesuatu itu agar tidak kotor. Artinya orang yang ikhlas itu adalah
mereka yang dalam melaksanakan kegiatan (ibadah & amal shaleh) semata-mata
mencari ridha Allah dan tidak dicampuri kepentingan lain.
Jiwa yang ikhlas sebenarnya merupakan realisasi dari iman seseorang.
Iman yang kokoh akan mendorong seseorang untuk berbuat untuk kemanfaatan diri
dan orang lain tanpa pamrih apapun.
Pribadi yang ikhlas dapat diumpamakan dengan orang
yang membersihkan beras dari kerikil-kerikil kecil. Beras yang telah bersih
dari kerikil itu bila dimasak tentu akan membuat nikmat tersendiri. Demikian
pula halnya dengan nikmat ikhlas. Perbuatan yang dilakukan secara ikhlas akan membuat
diri pelaku merasa nikmat, puas dan tidak menimbulkan kedongkolan pada orang
lain.
Tentunya hal
ini berbeda dengan perbuatan yang disertai dengan riya’ dan sum’ah. Perilaku
ini bisa menyakiti diri sendiri dan juga orang lain.
Dalam hal ini Abu Laits Nashr ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim As
Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin menyatakan bahwa perbuatan yang tidak
didasarkan pada keikhlasan ibarat orang pergi ke pasar membawa sekantong
krikil. Tentunya sampai di pasar tidak membeli apa-apa karena kerikil bukan
alat transaksi yang sah. Bila ini terjadi, maka akan ditertawakan orang.
Keikhlasan tidak saja dituntut dalam kegiatan
ibadah dan amal shaleh. Dalam kehidupan berilmupun dituntut keikhlasan. Dalam
hal ini Rasulullah Saw mengingatkan kepada mereka yang berkecimpung di dunia
ilmu pengetahuan dengan sabdanya:” Siapa yang menuntut ilmu pengetahuan hanya dengan motivasi
keduniawian (pangkat, jabatan, uang, gelar, kedudukan, angka kredit dll) maka
besok pada hari akhir tidak akan mendapatkan bau wangi surga (H.R. Abu
Daud).
Imam Ad Daraquthni pernah
menyatakan :Pada awalnya saya menuntut ilmu bukan karena Allah, ternyata
ilmu enggan menghampiri saya. Kemudian saya menyadari untuk ikhlas dalam
menuntut ilmu dengan mengharap ridha dari Allah Swt”.
Hal yang sama terjadi pada diri Imam Syafi’i yang
mengadukan kepada gurunya, Waqi’ mengenai daya ingatnya yang menurun. Kemudian Waqi’ memberikan nasihat
agar meninggalkan kemaksiatan. Gurunya itu juga memberitahukan bahwa ilmu itu
adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan sampai pada orang yang maksiat.
Bersambung
Nologaten, 12 September 2022
Lasa Hs.
0 Komentar