HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
adalah seorang ulama kharismatik, sastrawan, jurnalis, ahli tasauf, dan
Pahlawan Nasional. Beliau adalah putra dari Dr. Haji Abdul Karim bin Amrullah
(Haji Rasul) dan Siti Shafiyah Tanjung. Haji Rasul adalah pendiri Sumatera
Thawalib di Padang Panjang bersama Haji Abdullah Ahmad dan Syekh Ibrahim Musa
Parabek. Hamka di masa kecil biasa dipanggil Malik. Pada umur 7 tahun, ia masuk Madrasah. Pada umur 10
tahun ia memelajari ilmu agama Islam dan bahasa Arab di perpustakaan Sumatera
Thawalib Padang Panjang. Ia dan Engku Zainuddin diberi kebebasan membaca
buku-buku milik guru Datuk Sinaro.
Malik menyukai pelajaran sejarah dan
puisi. Selain itu, dia suka sekali menonton film yang saat itu masih berupa
film bisu. Suatu ketika, Abdul Hamid Hakim (guru sekolah Malik) datang ke rumah
Haji Rasul mengabarkan bahwa Malik sudah dua minggu tidak masuk sekolah.
Mendengar laporan ini, Haji Rasul marah besar kepada Malik. Haji Rasul dikenal
memiliki watak yang keras dalam mendidik putra-putrinya. Hasilnya antara lain
adalah HAMKA yang kelak menjadi ulama
yang kharismatik.
Sejak
muda, Buya HAMKA sudah aktif di Muhammadiyah. Mula-mula, beliau menjadi Ketua
Muhammadiyah di Sumatera Timur (Sumatera Utara). Kemudian ketika kembali ke
kampung halaman, beliau menjadi Ketua Muhammadiyah Sumatera Barat yang
berkedudukan di Padang Panjang. Di sini, beliau dan kawan-kawannya mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah, dan disini pula beliau bertemu seorang gadis yang
dicintainya dan kemudian menjadi isterinya.
Beliau adalah seorang pejuang, yang
saat itu beliau bergabung dengan Syarekat Islam. Saat itu, Beliau melihat bahwa
Syarikat Islam merupakan kekuatan sosial keagamaan Islam yang tangguh dalam
menghadapi Belanda. Kemudian, setelah beliau menyelesaikan tugas dari
Muhammadiyah sebagai Konsul Muhammadiyah Makasar, beliau pindah ke Medan pada
tahun 1936. Di Medan ini, beliau juga aktif dalam gerakan melawan Belanda
antara tahun 1945 – 1949 . Beliau diangkat sebagai Ketua Barisan Pertahanan
Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim
Halim.
Beliau adalah juga sebagai seorang
pujangga, penulis buku yang produktif (94 judul lebih), da’i yang disegani di Asia
Tenggara, Malaysia, bahkan Jepang. Beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa
(HC) dari Universitas Al Azhar pada tahun 1958.
Perjuangan dan kegiatan politik HAMKA
terus berlanjut dan beliau terpilih sebagai anggota Konstituante sebagai wakil
Partai Masyumi. Sebagai tokoh Islam, Buya HAMKA saat itu menjadi sasaran utama
Partai Komunis Indonesia/PKI. Melalui ruang seni budaya bertajuk Lentera pada harian Warta Bakti (milik PKI) Pramoedya Ananta Toer menjelek-jelekkan
seniman dan budayawan nonkomunis. Mereka yang diserang itu antara lain H.B.
Jassin (editor sastra), Buya HAMKA (ulama dan sastrawan), Sutan Takdir Alisyahbana
(novelis, budayawan, dan pakar bahasa Indonesia), Trisno Sumardjo (pelukis dan
penyair), Asrul Sani (penyair dan sutradara) Misbach Yusa Biran (dramawan dan
sutradara film), dan Bur Rasuanto (cerpenis-novelis).
Dalam perjuangannya, kadang berbeda
denga kebijakan Presiden Soekarno saat itu. Waktu itu, Bung Karno didekati oleh
Partai Komunis Indonesia/PKI. Begitu dominannya pengaruh PKI terhadap Bung
Karno. Sampai-sampai Buya HAMKA difitnah bahwa beliau akan melakukan kudeta.
Bung Karno termakan isu ini, sehingga buya HAMKA ditangkap pada tanggal 27
Agustus 1964 dan dipenjara. Selain itu, majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya dibreidel (dilarang terbit).
Kemudian buya HAMKA dipenjarakan selama 2 tahun 4 bulan. Selama dalam penjara
inilah, beliau menyelesaikan Tafsir al
Azhar 30 juz sebagai tafsir modern
dan fenomental itu.
Terkait
penangkapan itu, Buya HAMKA menulis “Pada Senin 27 Januari 1964 bertepatan
dengan tanggal 12 Ramadhan 1383 H, kira-kira pukul 11 siang, sehabis saya
mengaji dengan ibu-ibu di Masjid Agung Al Azhar, tiga polisi dari Depak (Departemen
Angkatan Kepolisian) datang menagkap saya. Mereka membawa surat perintah
penahanan sementara dengan tuduhan diduga melakukan kejahatan yang terkena
Penpres 11/1963.
Ulama
kharismatik ini diangkat menjadi Ketua MUI pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto pada tahun 1975. Namun beliau menolak segala fasilitas negara yang
terkait dengan kedudukannya sebagai
Ketua Majelus Ulama Indonesia itu. Kemudian dalam perjalanannya, beliau
mengundurkan diri dari Ketua MUI gara-gara beliau mengeluarkan “Fatwa Natal”
pada tanggal 7 Maret 1981.
Ketokohan
dan keteladanan buya HAMKA tidak saja diakui di Tanah Air, tetapi juga di
Malaysia, Singapura, Jepang, Brunei Darussalam, Mesir, Timur Tengah. Bahkan
Institute of Objective Studies (IOS) New Delhi India pada tahun 2005 menobatkan
HAMKA sebagai salah satu dari 100 tokoh pemimpin dunia abad ke-20. Kriteria
yang ditetapkan antara lain adalah tokoh itu; 1) pengaruh pemikiran-pemikiranya
bagi kemajuan Islam dan Kemanusiaan; 2) Hidup dan perjuangannya untuk
kemaslahatan umat dan Islam di negaranya, regional, maupun dunia lainnya; 3)
Berjuang secara konsisten; 4) Hidup dan berkiprah di abad ke 20.
Buku-buku
sebagai rekaman keilmuan, pemikiran beliau tercatat ada 94 judul lebih dalam
berbagai bidang. Buku-buku itu sampai kini masih mudah didapatkan di toko-toko
buku maupun perpustakaan dalam dan luar negeri.
Buya HAMKA sebagai ulama besar dan
pejuang bangsa Indonesia ini pulang ke Rahmatullah pada tanggal 14 Ramadhan
1402 H (24 Juli 1981) pukul 10.41 WIB dalam
usia 73 tahun 5 bulan. Beliau wafat di Rumah Sakit Pertamina Pusat, disaksikan
isteri (Hj. Siti Chadijah) dan putra-putri, dan para cucu.
Ribuan orang bertakziyah , dan
jenazahnya dishalatkan di Masjid Al Azhar Jakarta lalu dimakamkan di TPU Tanah
Kusir Jakarta.
Di
satu sisi diketahui bahwa di balik kebesaran seorang Buya HAMKA, ada sosok
wanita yang hebat yang setia mendampingi dan mendukung perjuangan beliau dalam
duka dan suka. Beliau adalah Hj. Siti Raham binti Rasul Sutan Endah yang
dinikahinya 5 April 1929. Namun demikian, sehubungan Hj. Siti Raham meninggal
lebih dulu, maka hari-hari akhir kehidupan beliau didampingi oleh isteri kedua
yakni Hj. Siti Chadijah binti H. Nata Pariwata (1920 – 1992).
Atas
jasa Buya HAMKA, Pemerintah RI mengakui dan mengangkat Buya HAMKA sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden RI Nomor 113TK/2011 tanggal
8 November 2011.
Agar
nilai kejuangan, semangat, dan kegigihan beliau menginsipirasi generasi
penerus, maka kini telah dibuat film yang Insya Allah akan ditayangkan 20 April
2023.
(Sumber:
Ensiklopedi Muhammadiyah 2.0; Membangun Indonesia Berkemajuan, 2022: 164 – 166)
Nologaten,
9 April 2023
Lasa
Hs.
0 Komentar