“Cukupkan yang ada, jangan mencari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat”. Begitu pesan Muhammad Natsir kepada enam orang anaknya, usai menolak pemberian mobil Chevrolet Impala tahun 1956. Sedan buatan Amerika itu ditawarkan oleh seorang tamu dari Medan.
“Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup”. Lanjut Natsir seperti dikisahkan dalam “Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim”.
Natsir kala itu sebagai anggota parlemen dan konstituante periode 1950-1958. Ia menolak pemberian mobil dan lebih suka menggunakan mobil tua DeSoto yang dibelinya sendiri. Kesederhanaan Natsir juga terlihat pada pakaiannya. Natsir hanya memiliki dua kemeja dan satu setel jas. Kemajanya lusuh karena sering dipakai, sedangkan jasnya penuh dengan tambalan. Beliaupun baru memiliki rumah saat menjabat Menteri Penerangan pada tahun 1946. Rumah itu kosong. Natsir mengisinya dengan perabot bekas yang dibelinya setelah gajian. Sebelum memiliki rumah, Natsir membawa keluarganya menumpang hidup di paviliun rumah Prawoto Mangkusasmito di Kampung Bali Tanah Abang Jakarta Pusat. Begitu pun saat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, Natsir menumpang di rumah Haji Agus Salim.
Usai menjadi Menteri Penerangan, Natsir ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri. Natsirpun pindah ke rumah dinas Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur yang kini menjadi Tugu Proklamasi. Di sana, Natsir mendapatkan fasilitas yang layak sebagai seorang Perdana Menteri.
Salah seorang mantan Ketua Muhammadiyah Khusni Muis mengungkapkan bahwa kehidupan Natsir saat menjadi Perdana Menteri. Pernah suatu ketika ia bermaksud meminjam uang untuk pulang ke Banjarmasin. Tetapi jawaban Natsir sungguh mengagetkannya. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang karena belum gajian. Kalau sekarang tidak masuk akal”. Ujar Amien Rais, saat mendengar cerita Khusni. Bahkan saat Natsir mundur dari jabatannya, ia menolak
menerima dana taktis yang menjadi haknya. Akhirnya dana itu pun diserahkan ke koperasi karyawan.
Natsir juga meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Kemudian ia pulang membonceng sepeda ontel dengan sopirnya. Kini namanya tetap harum karena memberi tauladan yang perlu dicontoh.
(Sumber: Integrito, Vol. 44/VII/ Mar-Apr 2015: 19)
0 Komentar