Beliau adalah salah satu dari tiga jenderal besar yang pernah dimiliki Indonesia. Dua jendral besar lain adalah Jendral Abdul Haris Nasution dan Jendral Soeharto.
Jendral Besar Soedirman merupakan tokoh yang tak pernah ditangkap Belanda, tak pernah dipenjara, dan memiliki jiwa yang ikhlas dan menghiasi sejarah Indonesia. Dalam berbagai kejadian, beliau selalu lolos dari upaya penangkapan oleh Belanda.
Ternyata, beliau memelihara hablun minallahi dan hablun minas nas secara baik dan seimbang. Beliau selalu menjaga wudhu yang sering disebut dawamul wudhu’. Ini dapat dibuktikan bahwa pada titik peristirahatan ketika perang gerilya selalu ada padasan (tempat air wudhu/gentong yang dibuat dari tanah). Orang yang masih punya wudhu akan menjaga kesucian hatinya dan teringat pada Allah. Pemeliharaan hablun minallahi ini didukung dengan ketepatan melaksanakan shalat fardhu. Ini merupakan bentuk kedisiplinan seorang pemimpin yang selalu berusaha dekat dengan Sang Khalik.
Beliau juga membagi-bagikan bahan makanan kepada masyarakat desa-desa yang dilewati ketiga gerilya. Padahal makanan itu sebenarnya merupakan bekal untuk gerilya. Maka tak heran kalau gerakan gerilya ini semakin didukung oleh masyarakat.
Putra dari Bapak Karsid Kartawiraji dan Ibu Siyem ini menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Taman Siswa Purwokerta, kemudian ke sekolah Wirotomo dan lulus tahun 1924. Dari Wirotomo ini, beliau
lalu melanjutkan sekolah di Kweekschool (sekolah guru) Muhammadiyah di Surakarta.
Dengan kondisi dan situasi pendidikan saat itu, maka tumbuh jiwa patriotisme pada diri Soedirman. Jiwa patriotisme ini tumbuh sejak beliau masuk kepanduan Muhammadiyah yang di kemudian hari dikenal dengan Hizbul Wathan/HW. Ketika beliau tinggal di Yogyakarta, beliau sering mengikuti Pengajian Malam Selasa di gedung ‘Aisyiyah Kauman . Beliau sangat menghormati tokoh-tokoh Muhammadiyah yang hadir dalam pengajian itu.
Ketika karirnya memuncak di kalangan militer, beliau sangat patuh atas keputusan Persyarikatan Muhammadiyah. Beliau menyadari bahwa sebagai panglima bukan sekedar kehormatan, tetapi lebih merupakan amanah yang berat. Melaksanakan amanah merupakan perintah agama dan memenuhi kebutuhan bangsa. Islam memerintahkan melawan ketidakadilan dan memerangi penjajahan.
Ketika beliau akan mendapat tugas untuk mengikuti pendidikan di Bogor, beliau pamitan pada para pengurus dan tokoh Muhammadiyah di Cilacap. Dalam acara pamitan itu, beliau berpesan :”Saya akan mempunyai tugas baru, saya akan menjadi serdadu dan akan berangkat latihan di Bogor. Sedulur-sedulur tulung dienget-enget Muhammadiyah”.
Ternyata keberangkatan ke Bogor itu merupakan titik awal menuju karir dan mengharuskan beliau meninggalkan Cilacap, mengabdi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jendral Soedirman sangat mencintai negara dan Muhammadiyah. Hal ini dapat disimak antara lain dari sambutan beliau pada kegiatan ta’aruf keluarga besar
Muhammadiyah, beliau menyatakan :”Kuatkan persatuan kita. Pegang teguh pendirian kita. Berjuang terus di bawah satu komando, mewujudkan dan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Nagara Republik Indonesia, supaya kita dapat syukur dan gembira yang abadi. Sekali Merdeka Tetap Merdeka. Sekali diproklamasikan, tetap kita pertahankan” (naskah lengkap dimuat Suara Muhammadiyah, Juli 1946.
Beliau pernah menjadi guru Muhammadiyah dan pernah menjadi Ketua Kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan/HW. Beliau wafat pada tanggal 29 Januari 1950 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.
Lasa Hs
0 Komentar